JETIS,REDAKSI17.COM – Pemerintah Kota Yogyakarta menargetkan untuk mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada tahun 2030. Komitmen tersebut diwujudkan melalui penerapan strategi Three Zero, yakni tidak ada kasus baru HIV/AIDS, tidak ada kematian akibat HIV/AIDS, serta tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV).
Hal itu disampaikan oleh Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, usai menghadiri kegiatan Penguatan Sinergi Pemerintah dan Komunitas dalam Monitoring dan Advokasi Layanan Kesehatan Inklusif dan Bebas Stigma bagi Populasi Kunci di Kota Yogyakarta, yang digelar bersama Yayasan Vesta Indonesia, Jumat (16/10).
“Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki ending target, yaitu mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada tahun 2030. Hal ini sejalan dengan komitmen global dan nasional untuk mencapai Three Zero,” ujar Hasto.
Sebagai langkah nyata menuju target tersebut, Pemkot Yogyakarta telah memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan IMS Tahun 2023–2027, yang menjadi pedoman bagi seluruh pihak terkait dalam upaya percepatan penanggulangan HIV/AIDS di wilayahnya.
Hasto juga menjelaskan, Kota Yogyakarta juga mengadopsi strategi percepatan 95-95-95, yakni 95% ODHIV mengetahui statusnya, 95% ODHIV menjalani pengobatan ARV (Anti Retroviral), dan 95% ODHIV yang menjalani pengobatan memiliki viral load tersupresi atau terkendali.
“Langkah ini penting untuk memastikan setiap individu mengetahui status HIV-nya dan segera mendapatkan pengobatan. Disiplin minum obat menjadi kunci agar mereka bisa hidup sehat dan produktif,” jelas Hasto.
Meski demikian, Hasto mengakui bahwa mencapai target Three Zero bukan hal yang mudah. Salah satu tantangan utama adalah tingginya mobilitas penduduk di Kota Yogyakarta, yang memungkinkan adanya pendatang baru yang belum terdeteksi status HIV-nya.

“Daerah kita ini mobilitasnya tinggi. Di satu sisi kita berupaya mencegah kasus baru, tapi di sisi lain harus tetap menerima pendatang yang membutuhkan layanan kesehatan, termasuk pengobatan HIV. Ini tantangan tersendiri,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Hasto, masih banyak ODHIV yang kehilangan semangat untuk menjalani pengobatan akibat rasa putus asa. “Padahal kalau disiplin minum obat, peluang hidup panjang dan sehat sangat tinggi. Karena itu, kita perlu terus memberi semangat dan pendampingan,” ujarnya.
Tambahnya, stigma sosial juga masih menjadi persoalan besar. Masyarakat kerap memiliki pandangan negatif terhadap ODHIV karena kurangnya pemahaman mengenai cara penularan HIV.
“Masyarakat perlu diedukasi bahwa HIV tidak menular lewat kontak biasa. Penularan hanya bisa terjadi melalui kontak darah atau hubungan seksual berisiko. Karena itu, kita harus hilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran komunitas dan kelompok sebaya dalam pendampingan ODHIV. Ia mengapresiasi peran Yayasan Vesta Indonesia, yang sebagian besar anggotanya merupakan penyintas HIV.
“Kalau penyuluhan dilakukan oleh teman senasib, dampaknya jauh lebih besar. Mereka lebih didengar dibanding pejabat atau tenaga kesehatan. Ini strategi yang sangat efektif,” kata Hasto.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Emma Rahmi Aryani, menyampaikan sejak tahun 2004 hingga 2024 tercatat sebanyak 1.744 kasus HIV kumulatif dan 338 kasus AIDS kumulatif di Kota Yogyakarta.
Emma menegaskan, layanan pemeriksaan dan pengobatan HIV/AIDS di Kota Yogyakarta tersedia secara gratis.
“Semua layanan pemeriksaan untuk melihat kondisi kekebalan tubuh pasien, dapat diakses secara gratis. Kami ingin memastikan tidak ada hambatan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan ini,” ujarnya.
Saat ditemui, Ketua Yayasan Vesta Indonesia, Joko Hadi Purnomo, mengungkapkan, salah satu kendala utama dalam penanganan HIV/AIDS di Kota Yogyakarta adalah masih adanya hambatan terkait pembayaran retribusi layanan kesehatan bagi populasi kunci atau kelompok rentan.
Meski pemerintah telah mulai memberikan bantuan terhadap biaya retribusi layanan kesehatan sejak tahun ini, Joko berharap agar dukungan tersebut dapat diperkuat melalui sinergi dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, khususnya dalam hal edukasi dan pembebasan retribusi bagi kelompok rentan.
“Kami ingin sekali bernegosiasi dengan pemerintah agar populasi rentan atau populasi kunci ini bisa dibebaskan dari retribusi yang ada,” ujar Joko saat ditemui.

Menurutnya, masih banyak masyarakat yang enggan melakukan tes HIV karena merasa takut dan terbebani biaya. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para pendamping dan relawan di lapangan. “Teman-teman di lapangan sangat kesulitan mengajak warga untuk melakukan tes HIV. Untuk datang saja sudah sulit, apalagi kalau harus membayar,” imbuhnya.