GONDOKUSUMAN,REDAKSI17.COM – Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), Pemerintah Kota Yogyakarta menekankan pentingnya pengelolaan keuangan dan barang milik daerah (BMD) yang akuntabel, transparan, dan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Tidak hanya untuk entitas pemerintahan daerah, tuntutan ini juga berlaku bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai instrumen ekonomi yang mengelola kekayaan negara/daerah dalam operasionalnya.
Hal tersebut disampaikan oleh Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Setda Kota Yogyakarta, Yunianto Dwisutono, saat membuka Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Aspek Hukum pada Kerugian Negara/Kerugian Daerah’ yang diselenggarakan oleh Bagian Hukum Setda Kota Yogyakarta di Hotel Saphir Yogyakarta, Kamis (24/7).

“Pemerintah Kota Yogyakarta tidak hanya dituntut untuk transparan dan akuntabel, tetapi juga harus taat hukum serta menjunjung tinggi asas-asas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ujarnya.
Ia juga menekankan, Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), seperti kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, keterbukaan, dan pelayanan yang baik, merupakan fondasi dalam setiap pengambilan keputusan administratif. Pemahaman yang lemah terhadap prinsip-prinsip tersebut juga berisiko menimbulkan kerugian negara atau daerah.
Yunianto juga menyoroti pentingnya pengelolaan keuangan yang berbasis prinsip kehati-hatian yang mengacu pada sejumlah regulasi seperti UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2016 tentang BPK, serta UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Penyelenggaraan FGD ini menjadi sangat relevan dan penting, khususnya dalam menghadapi tantangan fiskal saat ini,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Hukum Setda Kota Yogyakarta, Rihari Wulandari, menyampaikan pemahaman hukum yang tidak memadai terkait kerugian negara/daerah dapat menjadi sumber risiko hukum bagi banyak pihak di lingkungan pemerintah daerah.
Tidak hanya kepala daerah, tetapi juga kepala OPD, pejabat pengelola keuangan, pengguna barang, hingga jajaran BUMD bisa tersangkut persoalan hukum jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan anggaran dan aset.

Pihaknya juga menjelaskan, kompleksitas potensi kerugian bisa berasal dari kelalaian administratif, kesalahan kebijakan, hingga indikasi korupsi. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan mengenai batas antara kesalahan administratif dengan perbuatan melawan hukum, serta mekanisme penyelesaian tuntutan ganti kerugian terhadap pihak yang bertanggung jawab.
“Melalui FGD ini, kami harap para pemangku kepentingan memiliki pemahaman yang lebih mendalam terkait aspek hukum pertanggungjawaban atas kerugian negara/daerah, termasuk dalam pengelolaan BMD dan kekayaan yang dipisahkan di BUMD,” ungkapnya.
Dalam sesi pemaparan, salah satu narasumber, Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, menegaskan kerugian negara tidak selalu harus berujung pada proses pidana.
Ia mengingatkan, pencatatan aset daerah menjadi hal yang wajib dan seluruh aset harus dimanfaatkan secara optimal. Aset yang tidak dimanfaatkan, katanya, tidak hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga berpotensi menimbulkan persoalan hukum.
“Masalahnya, banyak aset daerah yang statusnya masih abu-abu. Padahal sekarang aset bukan hanya uang, tetapi juga surat berharga, piutang, dan hak lain yang dapat dinilai secara finansial, termasuk yang dikelola oleh BUMD,” ujarnya.
Ia menambahkan perlunya sistem pencatatan dan pengawasan yang lebih ketat agar pengelolaan kekayaan negara dan daerah tidak berujung pada kerugian.