Umbulharjo,REDAKSI17.COM – Sebagai bentuk pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pemerintah Kota Yogyakarta telah menetapkan peraturan daerah dan peraturan wali kota terkait tata ruang. Langkah ini memperkuat arah pembangunan yang tertib, legal, dan selaras dengan kebijakan pusat, meskipun keterbatasan lahan dan kompleksitas kota tetap menjadi tantangan tersendiri.
Ketua DPD RI dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, menegaskan bahwa isu penataan ruang bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyangkut keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan kedaulatan ruang bagi masyarakat. Ia menyampaikan bahwa forum ini merupakan bagian dari fungsi konstitusional DPD RI untuk menyerap aspirasi masyarakat sekaligus melakukan pengawasan atas kebijakan nasional, khususnya yang berdampak langsung pada daerah.
“Rapat kerja ini menjadi ruang strategis untuk mengevaluasi praktik dan kebijakan pemerintah daerah terkait penataan ruang pasca lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja, serta menyoroti pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang semakin sentralistik,” ujar GKR Hemas pada Rapat Kerja Reses bertajuk Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang digelar di Kantor DPD RI DIY, Rabu (9/4).
Lebih lanjut, GKR Hemas menyoroti pentingnya integrasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan penataan ruang. Ia juga menekankan perlunya mendorong partisipasi publik dalam proses perencanaan dan pengendalian ruang, agar kebijakan yang lahir benar-benar mencerminkan kebutuhan dan karakteristik wilayah.
Suasanan reses
Dalam rapat kerja tersebut, dibahas pula sejumlah isu strategis seperti efektivitas mekanisme pengawasan, sanksi atas pelanggaran tata ruang, serta peran masyarakat dalam menjaga kawasan yang telah ditata. Keistimewaan Yogyakarta sebagai daerah dengan otonomi khusus juga menjadi perhatian dalam konteks kebijakan tata ruang yang ideal dan adil.
“Melalui forum ini, kami berharap bisa mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan dan menyusun rekomendasi kebijakan sebagai bahan evaluasi, bahkan revisi, terhadap kebijakan nasional yang menyangkut ruang hidup masyarakat,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo mengungkapkan bahwa perubahan regulasi akibat berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah berdampak signifikan pada pola peraturan tata ruang di daerah. Kini, rencana detail tata ruang (RDTR) tidak lagi ditetapkan melalui Peraturan Daerah, melainkan melalui Peraturan Kepala Daerah, sehingga mengubah dinamika kebijakan dan teknis perencanaan.
“Perubahan ini harus kita respons dengan menyesuaikan regulasi daerah. Kota Yogyakarta telah menetapkan Perda RTRW Tahun 2021–2041 dan Perwal Nomor 118 Tahun 2021 tentang RDTR dan Peraturan Zonasi,” ungkap Hasto.
Ia menambahkan bahwa sebagai kota dengan wilayah yang nyaris seluruhnya telah terbangun, Yogyakarta menghadapi tantangan besar dalam memenuhi ketentuan teknis penataan ruang. “Kami tidak lagi memiliki lahan kosong. Maka, penataan ruang di Kota Yogyakarta adalah penataan ulang terhadap ruang yang sudah termanfaatkan,” ujarnya.
Wali Kota Yogyakarta juga menyoroti pentingnya Kawasan Sumbu Filosofis—yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia—untuk dilindungi secara ketat dalam RDTR. Hal ini mencakup aturan arsitektur tradisional, ketinggian bangunan maksimal 18 meter, serta larangan membangun melintang di atas jalan yang berada di sepanjang sumbu filosofi.
“Ketentuan teknis ini harus menjadi perhatian serius. Bangunan baru di zona inti tidak boleh mengganggu nilai budaya yang ada. Kami juga telah menyelaraskan aturan dengan Pergub DIY No. 2 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Warisan Dunia Sumbu Filosofi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hasto mengungkapkan pentingnya integrasi dalam pembangunan kawasan aglomerasi Yogyakarta yang melibatkan Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Dalam hal ini, jaringan transportasi, air bersih, sanitasi, persampahan, dan sistem tata ruang harus dirancang secara lintas batas wilayah.
Meski menghadapi keterbatasan ruang, Pemkot Yogyakarta tetap berupaya memenuhi amanat UU Penataan Ruang terkait keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30 persen, serta perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Namun Hasto mengakui, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Kota Yogyakarta yang memiliki keterbatasan lahan.
Lebih lanjut, Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kota Yogyakarta, Wahyu Handoyo Hardjono Putro mengatakan Pemerintah Kota telah menyelesaikan proses legalitas tata ruang, baik RTRW maupun RDTR, sesuai ketentuan dalam Permen ATR/BPN. Kewajiban pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30 persen sebagaimana diamanatkan dalam UU menjadi tantangan tersendiri bagi Kota Yogyakarta, namun tetap diupayakan melalui berbagai inovasi.
“Kami menyadari bahwa secara spasial, sulit memenuhi target 30 persen RTH secara konvensional. Maka kami mengembangkan program-program alternatif, seperti penanaman sayur di pekarangan warga, pemanfaatan ruang vertikal, serta taman-taman mikro berbasis komunitas,” ungkapnya.
Selain itu, Wahyu menambahkan bahwa pemenuhan ketentuan seperti Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) juga menghadapi kendala karena kondisi lahan yang sudah hampir seluruhnya terbangun. Ia mengusulkan agar pemenuhan aspek ini dilihat dalam konteks aglomerasi perkotaan yang melibatkan kabupaten tetangga seperti Sleman dan Bantul.
“Karena itu kami mengembangkan pendekatan-pendekatan baru, seperti urban farming, pemanfaatan ruang vertikal, taman komunitas, dan integrasi fungsi ruang lintas batas administrasi dalam kerangka aglomerasi perkotaan,” jelas Wahyu.
Pihaknya juga menyampaikan pemerintah kota akan menindaklanjuti penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) pada skala 1:2000 untuk sejumlah kawasan. Ini dilakukan untuk memperjelas pemanfaatan ruang secara spasial, termasuk dimensi infrastruktur dan bangunan, serta kesinambungan antar wilayah.
“RTBL ini akan menjabarkan lebih detail penataan lingkungan di kawasan tertentu, sehingga pembangunan yang ada betul-betul terhubung dan selaras dengan infrastruktur kota,” tutup Wahyu.