Umbulharjo,REDAKSI17.COM – Pemerintah Kota Yogyakarta memberikan  apresiasi atas konsistensi dan kontribusi Unit Pelayanan Kesehatan Masyarakat (UPKM) Bethesda YAKKUM dalam pelaksanaan Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS yang telah berjalan sejak tahun 2019.

Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menegaskan pentingnya keberlanjutan program penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Yogyakarta dalam mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Salah satu poin penting dari SDGs adalah upaya mengakhiri epidemi HIV/AIDS dan infeksi menular seksual. Dalam konteks itu, kita mengacu pada strategi global melalui pendekatan “jalur cepat” atau fast track, dengan target 95-95-95.

“Strategi 95-95-95 merujuk pada 95% orang dengan HIV mengetahui statusnya, 95% dari yang sudah terdiagnosis mendapatkan terapi ARV (antiretroviral) dan 95% dari mereka yang menjalani terapi ARV mencapai supresi virus,” kata Hasto saat menghadiri kegiatan Refleksi Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS yang digelar di Hotel Tjokro Style Yogyakarta, Rabu (18/6).

Di Kota Yogyakarta, jumlah kasus HIV tercatat sebanyak 1.425 kasus, dengan 337 diantaranya sudah masuk dalam kategori AIDS. Angka ini menunjukkan bahwa persoalan HIV/AIDS bukan hal yang bisa dianggap ringan, meski belum masuk kategori epidemi besar. Menurut Wali Kota, jumlah ini relatif masih terjangkau, maka upaya pengendalian dan penanganannya harus serius dan sistematis.

“Strategi pemutusan rantai penularan juga harus difokuskan pada kantong-kantong populasi dengan risiko tinggi. Saya yakin rekan-rekan di lapangan sudah sangat memahami peta risiko ini. Ketika ada pergeseran lokasi seperti yang terjadi pasca relokasi kawasan Bong Suwung, penting untuk memetakan ulang distribusi populasi berisiko dan memastikan mereka tetap dalam jangkauan layanan,” ungkap Hasto.

 

Wali Kota Yogya, Hasto Wardoyo mengunjungi stand umkm hasil pemberdayaan

 

Hasto bahkan menyampaikan keluhan masyarakat yang ingin melakukan skrining HIV tapi terkendala biaya, terutama bagi warga luar kota. Ia berharap ada kolaborasi lintas lembaga dan komunitas agar siapa pun bisa mendapat layanan skrining gratis, khususnya yang berada di wilayah berisiko tinggi.

Selain HIV, Hasto juga menekankan bahaya penyakit tuberkulosis (TBC) yang kerap muncul sebagai infeksi sekunder pada penderita HIV. Ia menceritakan kasus bayi usia enam bulan yang sudah positif TB dan HIV, menunjukkan pentingnya deteksi dini pada ibu dan bayi sejak awal.

“Kalau anak kena TB sejak sebelum umur dua tahun, hampir pasti stunting, gizi buruk, dan kesehatan jangka panjangnya terganggu. Maka skrining pada ibu hamil, dan penguatan layanan di Puskesmas harus ditingkatkan,” jelasnya.

Saat ini, Gedongtengen menangani 376 pasien secara rutin dan Tegalrejo sekitar 200 pasien. Semua mendapatkan layanan terapi ARV secara gratis. Selain itu, bagi mereka yang belum positif namun terpapar risiko, tersedia layanan Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP), sebagai bentuk pencegahan dini. termasuk wilayah Umbulharjo 1 yang akan segera difokuskan sebagai lokasi intervensi.

“Mereka yang sudah minum PrEP tetap harus skrining setiap tiga bulan. Mudah-mudahan dengan PrEP ini, konsumsi obat pencegahan maka yang sudah terpapar tapi tidak positif selamanya tidak positif itu itu harapannya,” tegasnya.

Perlu dicatat pula, lanjut Hasto, bahwa risiko penularan HIV sangat berkaitan erat dengan perilaku seksual berisiko. Karena itu, edukasi dan sosialisasi tentang seks aman, penggunaan alat pelindung, serta perubahan perilaku tetap menjadi tantangan yang perlu dikerjakan bersama, dengan pendekatan yang sensitif dan berbasis komunitas.

“Kalau SDM Kota Yogyakarta ini tidak sehat, maka selesai sudah. Kita tidak punya tambang, tidak punya hutan, yang kita punya hanya manusianya. Maka manusianya harus sehat, kuat, dan tidak boleh kalah oleh HIV maupun TB,” pungkasnya.

Direktur Unit Pelayanan Kesehatan Masyarakat (UPKM) Bethesda YAKKUM, Wahyu Priosaptono, menegaskan komitmen lembaganya dalam memperkuat dan melanjutkan Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di Kota Yogyakarta. Dengan pendekatan pelayanan kesehatan primer yang dikenal sebagai rumah sakit tanpa dinding, UPKM fokus pada pemberdayaan masyarakat, terutama di bidang kesehatan.

“Program pengendalian HIV ini telah kami jalankan bersama mitra sejak 2019 di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu, dan kini sudah memasuki tahun keenam. Kami bersyukur atas berbagai capaian, mulai dari kebijakan yang berpihak, peningkatan layanan yang ramah terhadap kelompok rentan, hingga penurunan stigma di masyarakat,” ungkap Wahyu.

Dalam kegiatan refleksi ini, Wahyu menyampaikan bahwa ada empat agenda utama yang menjadi fokus bersama, yakni merefleksikan praktik baik selama enam tahun pelaksanaan program. kemudian meneguhkan keberlanjutan program Warga Peduli HIV/AIDS, khususnya di wilayah binaan mitra, menyelenggarakan pasar komunitas serta memastikan dukungan pemangku kepentingan dalam keberlanjutan program pengendalian HIV dan AIDS ke depan.

“Kami percaya bahwa target global 2030 tanpa infeksi baru, tanpa kematian akibat AIDS, dan tanpa stigma memang menantang, tetapi menjadi semangat bersama untuk terus melahirkan strategi dan inovasi baru. Kuncinya ada pada kerja kolaboratif dan membangun jaringan mitra yang lebih luas,” lanjutnya.

 

Refleksi Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS yang digelar di Hotel Tjokro Style Yogyakarta, Rabu (18/6)

 

Sementara itu, Project Manager Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di UPKM YAKKUM Bethesda, Ganis Kristia menjelaskan pada tahun 2019, pihaknya melakukan pembentukan ulang dan pengorganisasian WPA di delapan kelurahan. Dimulai dengan advokasi ke kelurahan agar mengeluarkan Surat Keputusan (SK) legalitas WPA, dilanjutkan dengan serangkaian pelatihan terkait HIV dan AIDS, advokasi, edukasi masyarakat, hingga peningkatan keterampilan seperti teknik pijat, pemanfaatan herbal dan pangan lokal, serta pelatihan pendampingan bagi orang dengan HIV (ODHIV).

“Termasuk pelatihan untuk menjadi pengawas minum obat ARV juga kami berikan. Harapannya WPA bisa menjalankan tiga peran utama: edukasi masyarakat, identifikasi risiko, dan menjaga lingkungan tetap kondusif jika ada ODHIV di wilayahnya,” tambahnya.

Delapan kelurahan yang didampingi meliputi Kelurahan Bener, Kricak, Sosromenduran, Pringgokusuman, Gedongkiwo, Suryodiningratan, serta Warungboto dan Giwangan.

Lebih lanjut, Ganis menyampaikan bahwa tantangan utama dalam pendampingan ini adalah mengubah stigma negatif terhadap ODHIV. Diskriminasi masih ditemukan, bahkan oleh lingkungan terdekat seperti keluarga, tetangga, hingga tenaga kesehatan.

“Stigma muncul karena ketidaktahuan. Masyarakat cenderung takut dan menganggap HIV sebagai sesuatu yang menular dengan mudah dan mematikan. Padahal, tidak seperti itu. Karena itu, kami mendorong edukasi oleh WPA secara langsung, bahkan melibatkan ODHIV untuk berbagi testimoni,” ungkapnya.

Melalui pendekatan yang berkelanjutan dan dukungan kelurahan, Ganis berharap WPA tidak hanya menjadi agen edukasi, tetapi juga mampu mandiri secara ekonomi lewat pelatihan keterampilan yang mereka terima. “Kami ingin kegiatan WPA terus berlanjut, dan menjadi bagian dari penguatan masyarakat yang inklusif dan sehat,” pungkasnya.