Tegalrejo,REDAKSI17.COM – Penyerapan anggaran bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Kota Yogyakarta hampir menyentuh angka 100 persen pada 2025.
Kepala Bagian Hukum Setda Kota Yogyakarta, Rihari Wulandari, mengungkapkan bahwa tingkat penyerapan anggaran bantuan hukum bagi masyarakat miskim di tahun keempat mencapai angka optimal.
“Untuk penyerapan, per Oktober kemarin sudah 99 persen. Ini sangat luar biasa, karena dua tahun terakhir penyerapan kami juga tinggi,” ujarnya dalam FGD Monitoring dan Evaluasi Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Hotel Tara, Rabu (19/11/2025).
Rihari menjelaskan, tingginya penyerapan anggaran menunjukkan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat bahwa pemerintah hadir memberikan perlindungan hukum kepada warga miskin. Pada tahun pertama dan kedua program ini berjalan, tingkat penyerapan hanya mencapai 51 persen, namun kini hampir 100 persen.
Tercatat sepanjang tahun anggaran 2025, sebanyak 72 kasus ditangani 24 mitra Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang bekerja sama dengan Pemkot Yogyakarta.
Di mana program bantuan hukum gratis tersebut memiliki kebijakan pengecualian perkara, sehingga tidak semua perkara bisa diajukan dalam fasilitasi ini. Antara lain tindak pidana makar, kekerasan seksual, psikotropika dan zat adiktif atau narkotika, tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia, terorisme, korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Selain pendampingan hukum, tahun ini Pemkot Yogyakarta juga melaksanakan enam kali kegiatan penyuluhan nonlitigasi sebagai upaya peningkatan pemahaman hukum masyarakat.
Dalam forum tersebut Rihari juga menyampaikan adanya usulan dari DPRD Kota Yogyakarta agar bantuan hukum tidak hanya menyasar pelaku, tetapi juga saksi dan korban, terutama yang berasal dari keluarga tidak mampu.
“Saksi dan korban itu kan belum tentu mampu secara ekonomi. Kita bisa katakan masyarakat sekarang sudah paham bahwa pemerintah kota hadir untuk memberikan perlindungan hukum. Kami juga mengapresiasi mitra LBH dan OBH yang sudah hadir membantu masyarakat,” imbuhnya.

5 LBH dan OBH dengan serapan tertinggi di tahun 2025 adalahbYayasan AFTA Rp46 juta untuk litigasi, LBH Tentrem Rp42 juta litigasi dan Rp3,7 non litigasi, LBH Sembada : Rp36 juta litigasi), LBH Harapan Rp22 juta litigasi dan Rp3,6 juta non litigasi, serta YPBH Peradi Bantul Rp25 juta litigasi.
Salah satu perwakilan LBH, Lisa dari LKBH UII, menyampaikan sejumlah catatan berdasarkan pengalaman pendampingan selama setahun terakhir. Ia mencontohkan satu kasus, di mana seorang perempuan lanjut usia ditolak permohonan SKTM-nya karena masih tercatat sebagai istri pensiunan. Padahal hak pensiun tersebut sepenuhnya telah diambil alih oleh anak-anaknya.
“Secara administratif, ia masih dianggap istri pensiunan. Tetapi secara faktual, ia sudah tidak menerima hak apa pun. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara aturan dan realitas warga rentan,” tegasnya.
Di akhir penyampaiannya, Lisa meminta Pemkot dan tim bantuan hukum untuk menghadirkan solusi yang lebih adaptif terhadap kondisi warga rentan, agar semangat perlindungan hukum bagi masyarakat miskin tidak terhambat oleh ketentuan administratif.



