Jakarta,REDAKSI17.COM – Undang-undang Aparatur Sipil Negara () yang mana digunakan baru disahkan pada parlemen pada 3 Oktober lalu memperbolehkan dan mengisi jabatan ASN di area area lingkungan institusi sipil
Aturan itu dituangkan dalam Pasal 19. Adapun jabatan ASN terdiri dari jabatan managerial lalu jabatan non-manajerial.
“Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN. Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia serta anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,” demikian bunyi Pasal 19 dalam UU ASN terbaru itu.
Ketentuan lebih tinggi lanjut lanjut mengenai jabatan ASN tertentu yang mana dimaksud berasal dari prajurit TNI kemudian juga Polri kemudian tata cara pengisian jabatan ASN diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, Pasal 20 UU ASN menyatakan ASN dapat menduduki jabatan pada tempat lingkungan TNI kemudian Polri sesuai dengan kompetensi yang mana mana dibutuhkan.
Bagian penjelasan pasal hal yang disebut disebutkan pengisian jabatan TNI serta Polri oleh ASN serta juga sebaliknya bertujuan agar ASN, prajurit TNI, lalu juga Polri mempunyai keseimbangan serta kesetaraan dalam pengembangan kariernya berdasarkan Sistem Merit.
Mendapat kecaman
Aturan yang mana hal tersebut memperbolehkan TNI dan juga juga Polri memegang jabatan sipil itu pun mendapatkan kecaman dari beberapa orang pihak, termasuk Komisi untuk Orang Hilang kemudian Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Mereka menyatakan aturan UU itu ‘mengkhianati’ amanat reformasi 1998 untuk menghapus Dwifungsi ABRI era Orde Baru. Pada rezim Orde Baru di area tempat bawah Presiden kedua RI Soeharto, tentara serta polisi berada di area tempat bawah institusi ABRI.
“Kami mengecam keras langkah revisi UU ASN ini yang mana mana mana memasukkan ketentuan jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI kemudian anggota Polri,” kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dalam keterangan tertulis, Kamis (5/10).
Menurut Dimas, ketentuan itu merupakan pembangkangan terhadap hukum serta semangat reformasi yang tersebut menghendaki penghapusan dwifungsi ABRI serta penguatan terhadap supremasi sipil.
“TNI-Polri diperkenankan menduduki posisi pada ASN merupakan jalan pemerintah untuk mengembalikan hantu Dwifungsi TNI/Polri sebagaimana terjadi pada zaman Orde Baru,” ujarnya.
Dia menjelaskan jika merujuk pada konstitusi, TNI semata-mata dimandatkan untuk mengurusi bidang pertahanan lalu Kepolisian ditugaskan untuk mengurusi keamanan lalu ketertiban masyarakat, bukan justru urusan sipil.
Pada draf UU ASN yang dimaksud telah terjadi terjadi disahkan pemerintah serta DPR pada 3 Oktober lalu, perihal pengisian jabatan sipil di tempat tempat TNI lalu Polri itu tercantum pada Pasal 20 ayat 1 serta 2.
Pasal 20 ayat 1 tertulis: ASN dapat menduduki jabatan dalam tempat lingkungan Tentara Nasional Indonesia serta juga Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi yang digunakan yang disebut dibutuhkan.
Pasal 20 ayat 2 tertulis: Ketentuan tambahan banyak lanjut mengenai pengisian jabatan di area tempat lingkungan Tentara Nasional Indonesia lalu Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Lalu, bagaimana penerapan kebijakan Dwifungsi ABRI yang dimaksud digunakan melekat dengan era Orba selama 32 tahun itu?
Sejarah kemudian penghapusan Dwifungsi ABRI
Mengutip dari berbagai sumber, Dwifungsi ABRI adalah kebijakan pada masa Orde Baru yang tersebut dimaksud mengatur tentang fungsi ABRI dalam tatanan negara, yakni sebagai kekuatan militer serta juga pengatur pemerintahan negara.
Kebijakan ini adalah buntut dari kekosongan tugas TNI/Polri setelah Indonesia berdaulat. Saat itu, pemerintah khawatir TNI/Polri tak dapat terlibat kembali untuk negara.
Melihat kondisi tersebut, AH Nasution mencetuskan pertama kali gagasan dwifungsi atau dua tugas ABRI. Ia berpidato di dalam tempat ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958.
Dalam pidatonya, Nasution yang kala itu Panglima ABRI mengatakan prajurit dapat berperan dalam politik. Selain itu, ia bukan ingin ABRI menjadi alat penguasa politisi sipil.
Hingga akhirnya penetapan dwifungsi ABRI dilandaskan oleh TAP MPRS Nomor II tahun 1969. Nasution kala itu adalah Ketua MPRS.
Kebijakan dwifungsi ABRI itu lalu diturunkan rezim Orde Baru menjadi undang-undang yakni UU Nomor 82 Tahun 1982. Kala itu, pada UU 82/1982 Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 82 tertulis, “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini Angkatan Bersenjata diarahkan agar secara bergerak mampu meningkatkan serta memperkokoh ketahanan nasional dengan bergabung serta dalam pengambilan keputusan mengenai permasalahan kenegaraan serta pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila juga juga kehidupan konstitusional berdasar Undang Undang Dasar 1945 dalam segala perniagaan lalu kegiatan penyelenggaraan nasional.”
Berbekal beleid tersebut, dalam bawah rezim Soeharto, ABRI menduduki jabatan-jabatan sipil secara luas di dalam tempat pemerintahan dari tingkat kampung hingga pusat kemudian parlemen.
Dwifungsi ABRI memungkinkan TNI/Polri untuk menduduki kursi MPR serta DPR tanpa mengikuti Pemilu. Pada tahun 1990-an, sebagian besar anggota ABRI memegang kunci dalam sektor pemerintahan.
Aturan itu menimbulkan kritik keras dari penduduk sipil, lantaran dinilai demokrasi terkikis sebab kekuasaan negara dikuasai ABRI. Puncaknya pada gelombang reformasi 1998 yang membuat tuntutan penghapusan dwifungsi ABRi makin santer.
Penghapusan dwifungsi ABRI itu kemudian terjadi pada masa pemerintahan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lewat reformasi dalam area tubuh TNI. Selain mencabut dwifungsi ABRI, Gus Dur memisahkan TNI lalu juga Polri. Kemudian, militer berpartisipasi tak lagi dapat berpartisipasi dalam urusan urusan politik partisan maupun menempati jabatan sipil.
“Catatan menarik dari buah reformasi internal TNI adalah bahwa TNI telah dilakukan dilaksanakan melepaskan peran sosial kebijakan pemerintah menjadi berperan sebagai alat negara pada bidang pertahanan. Konsekuensinya, konsep Dwifungsi ABRI dihapuskan kemudian TNI menjadi lembaga yang dimaksud steril terhadap politik. TNI benar-benar melepaskan keterlibatannya dalam kebijakan pemerintah praktis,” demikian dikutip dari artikel ‘Dalam Kilas Balik Sejarah’ pada situs resmi TNI.
Hal itu pun ditegaskan dalam UU 34/2004 yang digunakan hal tersebut menyebut TNI sebagai alat negara di area dalam bidang pertahanan yang mana dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan juga juga keputusan kebijakan pemerintah negara.
UU 34/2004 itu pun sekarang tengah digodok untuk direvisi kembali. Revisi yang mana mana kemudian dikhawatirkan berbagai lembaga sipil akan mengembalikan Dwifungsi ABRI.
Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin pada Mei tahun ini pernah menegaskan agar revisi UU TNI itu mengkhianati amanat reformasi terkait penghapusan Dwifungsi ABRI.
“Dulu itu kan menghilangkan dwifungsi, semangat itu yang tersebut digunakan jangan dicederai,” ujar Ma’ruf pada 12 Mei 2023 seperti dikutip dari situs Sekretariat Negara RI, Jumat (6/10).
![]() |
UU ASN baru atur sipil di tempat dalam jabatan TNI lalu Polri
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara lalu Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas menyebut warga sipil dapat menjadi direktur hingga duta kepala di area tempat Polri pada masa mendatang.
Dia berkata hal itu dimungkinkan lewat UU ASN yang dimaksud hal itu baru, sehingga bukan hanya saja cuma TNI juga Polri sekadar yang digunakan dimaksud dapat mengisi jabatan di dalam dalam institusi sipil.
Dia mengatakan Undang-undang itu menganut prinsip resiprokal dalam manajemen pegawai negara di dalam tempat lingkungan sipil juga TNI-Polri. Dengan demikian, kata dia, lewat konsep resiprokal itu maka ketika Polri membutuhkan tenaga non-Polri, itu sanggup jadi diisi dari sipil.
“Misalnya, direktur digital di dalam dalam Mabes Polri atau jangan-jangan ke depan ada wakapolri yang membidangi pelayanan penduduk lalu seterusnya, sangat mungkin, ini sudah pernah terjadi dibuka,” kata Anas pada Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (6/10).
Anas mengatakan selama ini anggota TNI lalu Polri punya kesempatan mengisi posisi dalam area instansi sipil. Namun, ASN tiada sanggup menduduki posisi dalam instansi kepolisian lalu militer.
Kini, menurutnya itu berubah dikarenakan UU ASN yang tersebut mana baru disahkan pemerintah bersama DPR pada rapat paripurna pada kompleks parlemen, Jakarta, pada 3 Oktober lalu.
Meski begitu, Anas menyebut aturan itu bukanlah sebuah kewajiban, akibat UU ASN memberi kewenangan pengisian jabatan hal itu ke instansi masing-masing.
“Ini sesuai dengan keperluan institusi yang tersebut dimaksud, dapat semata TNI, sanggup Polri,” ujarnya.