Jakarta,REDAKSI17.COM — Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Handi Risza, menegaskan bahwa gagasan mengenai pemberlakuan Pajak Kekayaan (Wealth Tax) layak untuk diangkat dan dikaji serius implementasinya di Indonesia.
Menurut Handi, urgensi wacana ini tidak terlepas dari masih rendahnya rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (Tax Ratio). Pada tahun 2024, tax ratio Indonesia hanya sebesar 10,08 persen, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
“Meskipun penerimaan pajak secara nominal naik, namun pertumbuhan penerimaan perpajakan tidak melebihi pertumbuhan PDB nominal. Akibatnya tax ratio justru turun,” jelas Handi dalam keterangannya, Kamis (4/9/2025).
Selain itu, Handi menyoroti persoalan ketimpangan kekayaan yang semakin melebar. Berdasarkan World Inequality Report 2022, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 30 persen kekayaan nasional, sedangkan 50 persen kelompok termiskin hanya menikmati lima persen.
Data Forbes 2022 juga menunjukkan, saat pandemi rakyat banyak mengalami kesulitan, kekayaan rata-rata 100 orang terkaya justru semakin meningkat. Sementara itu, studi Celios 2024 menemukan kekayaan 50 hartawan terkaya setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia.
“Fenomena ini jelas menunjukkan adanya ketidakadilan distribusi. Karena itu, pajak kekayaan menjadi instrumen yang patut dipertimbangkan untuk mempersempit ketimpangan,” tegas Handi.
Isu ini bukan hanya menjadi perdebatan nasional, tetapi juga mendapat perhatian internasional.
Forum G20 sejak tahun lalu telah membahas mekanisme perpajakan baru yang menyasar kalangan super kaya. Beberapa negara Eropa bahkan telah menerapkan pajak kekayaan dengan dukungan kesadaran publik yang tinggi terkait kesenjangan pendapatan dan penghindaran pajak.
Di Indonesia, wacana pengenaan pajak kekayaan juga sempat mencuat ketika Presiden Prabowo Subianto terpilih pada 2024.
Saat itu, Presiden menegaskan rencana mengoptimalkan penerimaan pajak dari kalangan crazy rich sebagai bagian dari strategi fiskal pemerintah.
Namun demikian, Handi menekankan bahwa penerapan kebijakan ini harus melalui kajian mendalam sesuai dengan kondisi ekonomi nasional.
“Perlu ada penyesuaian, termasuk pengawasan pajak yang lebih ketat berbasis teknologi, kerja sama antar-lembaga, ketentuan jelas mengenai objek pajak kekayaan, serta reformasi tarif PPh bagi mereka yang berpenghasilan tinggi,” ujarnya.
PKS, lanjut Handi, berharap Pemerintah benar-benar serius mendalami kebijakan ini dengan menyusun tahapan persiapan yang matang.
Ia mendorong agar dilakukan riset bersama, public hearing dengan pakar, akademisi, dan pengusaha, serta melibatkan DPR bila kebijakan ini masuk kategori pajak baru yang memerlukan payung hukum undang-undang.
“Bagi PKS, prinsip redistribusi pendapatan yang adil menjadi pijakan utama dalam kebijakan pajak. Tujuannya agar ketimpangan sosial dan ekonomi bisa dikurangi. Di satu sisi penerimaan negara meningkat, di sisi lain rakyat bisa merasakan fasilitas publik yang lebih baik dan berkualitas,” pungkas Handi Risza.