JAKARTA,REDAKSI17.COM — Ketua DPP PKS Bidang Energi, Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim, Dr. Ismail, mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menerapkan kebijakan wajib campuran etanol 10 persen (E10) dalam bahan bakar minyak (BBM). Ia menilai, meski narasinya tampak ideal sebagai bagian dari transisi energi bersih dan penguatan kemandirian energi nasional, kebijakan ini menyimpan potensi kompleksitas yang besar.
“Jika tidak dirancang hati-hati, kebijakan E10 bisa berubah menjadi krisis hijau baru ramah lingkungan di atas kertas, tetapi membebani masyarakat dan industri di lapangan,” ujar Ismail di Jakarta, Selasa (15/10).
Menurutnya, kapasitas produksi bioetanol dalam negeri saat ini belum mencukupi untuk menjalankan program E10 secara nasional. Bahan baku utama seperti tebu dan singkong masih terbatas, dengan produktivitas yang fluktuatif.
“Jika pasokan dalam negeri tidak memadai, opsi impor etanol akan terbuka lebar. Ini bisa menciptakan ketergantungan baru: bukan terhadap minyak mentah, melainkan terhadap etanol impor,” tegasnya.
Selain pasokan bahan baku, tantangan teknis dan infrastruktur juga menjadi sorotan. Etanol bersifat higroskopik dan korosif terhadap logam serta karet, sementara banyak kendaraan di Indonesia belum tentu kompatibel dengan bahan bakar E10 tanpa modifikasi.
“Tanpa investasi besar pada tangki penyimpanan dan sistem distribusi yang tahan etanol, masyarakat justru bisa menanggung biaya tambahan perawatan kendaraan dan gangguan pasokan BBM,” jelas Dr. Ismail.
Ia juga menyoroti dilema antara energi dan pangan (fuel versus food). Permintaan besar terhadap tebu, singkong, atau jagung untuk bahan baku bioetanol berpotensi menggeser lahan pangan menjadi energi.
“Manfaat ekologis bioetanol bisa terhapus oleh deforestasi, degradasi tanah, dan penggunaan pupuk intensif. Alih-alih menurunkan emisi karbon, kebijakan ini justru bisa memperbesar jejak karbon nasional,” tambahnya.
Ismail menegaskan bahwa transisi energi harus ditempuh dengan strategi yang cerdas dan realistis. Pemerintah, katanya, perlu menerapkan kebijakan E10 secara bertahap melalui pilot project di wilayah yang telah siap, sekaligus memperkuat koordinasi lintas sektor dan dukungan fiskal bagi industri bioetanol.
“Transisi energi tidak cukup hanya mengganti jenis bahan bakar. Ia membutuhkan ekosistem kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat,” tutupnya.