JAKARTA,REDAKSI17.COM — Ketua DPP PKS Bidang Pembinaan Masyarakat Rentan dan Disabilitas (BPMRD), Netty Prasetiyani Heryawan menyoroti secara serius kasus perundungan yang terjadi di SMP Negeri 3 Doko, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Dalam kasus ini, 14 siswa melakukan tindakan perundungan terhadap seorang teman hingga menyebabkan trauma dan luka ringan di bagian siku.
Peristiwa ini terjadi saat kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada Jumat (18/7/2025). Korban berinisial WV, siswa baru di sekolah tersebut, mengalami perundungan dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh 14 siswa senior di lingkungan sekolah yang terletak di Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar.
Netty menyampaikan keprihatinannya dan menegaskan bahwa setiap anak, berhak mendapatkan pelindungan dan penanganan yang tepat sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, Netty mendukung penerapan mekanisme diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Diversi adalah upaya penyelesaian perkara anak di luar proses peradilan pidana yang bertujuan untuk mencapai keadilan restoratif. Namun, ini bukan berarti membebaskan pelaku dari tanggung jawab,” ujar Netty.
Menurutnya, diversi harus dilaksanakan secara hati-hati dan melibatkan semua pihak, termasuk korban, pelaku, keluarga, serta lembaga pelindungan anak. Keadilan restoratif penting untuk memastikan bahwa korban mendapatkan pemulihan yang layak dan pelaku menyadari kesalahannya serta bertanggung jawab secara sosial dan moral.
“Penanganan kasus perundungan tidak boleh merusak masa depan siapa pun. Kita perlu memastikan bahwa korban mendapatkan pendampingan psikologis dan rasa aman untuk kembali ke lingkungan sekolah, sementara pelaku harus menjalani pembinaan dan rehabilitasi sosial agar tidak mengulangi perbuatannya,” tegas Netty.
Ia juga mengingatkan bahwa perundungan dapat menimbulkan dampak jangka panjang bagi korban, seperti trauma, hilangnya rasa percaya diri, hingga kerusakan karakter. Karena itu, pencegahan dan penanganan tidak cukup hanya dalam bentuk respons hukum, tapi juga melalui perubahan budaya sekolah dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat.
“Orang tua harus membiasakan nilai empati, toleransi, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan di rumah. Sekolah perlu membangun budaya anti-perundungan dan menjadi tempat yang ramah dan aman bagi semua anak,” tambahnya.
Netty juga mendorong komite sekolah agar aktif mengawasi implementasi program pencegahan perundungan, serta membangun forum komunikasi yang melibatkan pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam membahas upaya menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan inklusif.
“Kasus ini harus menjadi pelajaran bersama. Kita semua punya tanggung jawab menghentikan mata rantai perundungan di dunia pendidikan,” pungkas Netty.