JAKARTA,REDAKSI17.COM — Ketua DPP PKS Bidang Advokasi, Nurul Amalia, menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar mengandung degradasi terhadap semangat agraria yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
Isu tanah terlantar—yakni tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun dan berpotensi disita negara—kembali ramai diperbincangkan masyarakat.
“UUPA 1960 lahir dengan semangat keberpihakan kepada rakyat kecil. Saat itu, tanah dipandang sebagai sumber kehidupan bersama, bukan komoditas yang boleh dikuasai segelintir pihak,” ujar Nurul di Jakarta, Senin (4/8/2025).
Ia menilai, PP No. 20/2021 mencerminkan arah kebijakan yang berbeda. “Semangat penghapusan kepemilikan tanah berlebihan sebagaimana UUPA, kini tergantikan oleh semangat negara yang justru terkesan ingin merampas tanah rakyat demi kepentingan pemilik modal,” tegasnya.
Nurul menjelaskan, pasal-pasal dalam PP tersebut memungkinkan negara menetapkan tanah sebagai “terlantar” jika tidak dimanfaatkan selama dua tahun. Namun, definisi “tidak dimanfaatkan” sangat kabur dan rentan disalahartikan.
“Tidak ada pertimbangan terhadap kendala yang dihadapi pemilik tanah—seperti keterbatasan modal atau hambatan lain yang menghalangi pemanfaatan lahan,” tambahnya.
Ia juga menyoroti potensi konflik hukum antara PP No. 20/2021 dan UUPA 1960. “Dalam asas hukum lex superior derogat legi inferior, peraturan pemerintah tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang lebih tinggi.”
PKS menegaskan bahwa pembacaan terhadap PP ini tidak boleh sekadar normatif. Harus ada pemahaman menyeluruh terhadap ruh dan tujuan UUPA sebagai landasan utama kebijakan agraria. Tanpa itu, pelaksanaan aturan hanya akan memperlebar ketimpangan penguasaan lahan dan memicu konflik di tengah masyarakat.