Jakarta,REDAKSI17.COM— Ketua DPP PKS Bidang Energi, Lingkungan Hidup, dan Perubahan Iklim, Agus Ismail, menyoroti kembali persoalan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi di sejumlah SPBU non-Pertamina yang menimbulkan antrean panjang dan pompa kosong.
“Pertanyaan mendasar, apakah ini sekadar gangguan distribusi atau tanda rapuhnya tata kelola energi nasional? Pola ini berulang, karena pada awal 2025 gejala serupa juga terjadi. Artinya, ada masalah struktural yang belum diatasi,” tegas Agus Ismail dalam keterangannya, Kamis (18/9/2025).
Agus Ismail menjelaskan bahwa meski deregulasi sektor hilir sudah berlangsung dua dekade, pasokan BBM non-subsidi masih bersumber dari Pertamina.
Badan usaha swasta yang diharapkan menjadi alternatif justru bergantung pada BUMN energi ini sebagai importir utama.
Ia menilai himbauan pemerintah agar SPBU swasta“berkolaborasi dengan Pertamina” justru mempertegas dominasi tunggal.
“Pertamina memang tulang punggung energi, tetapi menjadikan swasta sekadar pembeli stok bukanlah solusi. Alih-alih mendorong kompetisi sehat, kebijakan ini justru mempersempit ruang gerak swasta,” jelasnya.
Lebih lanjut, Agus menyoroti aturan impor yang hanya diberlakukan enam bulan sekali sejak Februari 2025. Kebijakan ini, menurutnya, justru menambah beban administratif dan ketidakpastian bagi pelaku usaha.
Dampaknya, masyarakat kembali kesulitan membeli BBM non-subsidi setiap periode tertentu.
“Upaya Menteri ESDM dalam menyikapi lonjakan permintaan akibat pembatasan BBM subsidi sebaiknya disertai perhitungan kebutuhan yang akurat dan buffer stok yang memadai. Jika tidak, masyarakat akan terus menanggung akibatnya: antrean panjang, harga lebih mahal, hingga kepanikan energi yang berulang,” ungkap Agus Ismail.
Ia juga menolak pernyataan Menteri ESDM yang mengarahkan pembelian BBM non-subsidi ke Pertamina.
“Pemerintah sebaiknya lebih progresif dengan membuka opsi joint procurement antara Pertamina dan swasta, sehingga kualitas, biaya, dan risiko bisa dibagi tanpa mengorbankan persaingan sehat,” tambahnya.
Agus Ismail menegaskan, transparansi juga sangat penting. Publik, kata dia, berhak mengetahui data impor, distribusi, dan realisasi kuota agar tumbuh kepercayaan bahwa kebijakan energi dikelola secara adil dan efisien.
Ia menilai lonjakan permintaan di SPBU swasta adalah sinyal penting bahwa publik mencari alternatif.
“Reputasi Pertamina yang sempat tercoreng isu kualitas BBM hingga tata kelola, mendorong sebagian konsumen beralih,” jelasnya.
Menurut Agus, kelangkaan BBM non-subsidi bukan sekadar isu teknis, melainkan alarm bagi arah kebijakan energi nasional.
“Menjawab lonjakan permintaan hanya dengan menambah kuota tanpa memperbaiki sistem berarti mengulangi krisis yang sama setiap tahun,” tegasnya.
Ia menutup dengan desakan agar Pemerintah segera menuntaskan pembahasan RUU Migas yang sudah 12 tahun tertunda.
“UU Migas yang baru diperlukan demi kedaulatan nasional, mengurangi ketergantungan impor, dan memastikan regulasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Hal ini berbeda dengan UU Migas 2001 yang cenderung liberal,” pungkas Agus Ismail.