Home / Politik / Prabowo Sebut Tak Pernah Gagal Bayar, Ini Sejarah Pahit Utang RI

Prabowo Sebut Tak Pernah Gagal Bayar, Ini Sejarah Pahit Utang RI

Prabowo Sebut Tak Pernah Gagal Bayar, Ini Sejarah Pahit Utang RI

Jakarta, REDAKSI17.COM – Calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto mengatakan, Indonesia tiada pernah gagal membayar utang luar negeri. Menurutnya, rasio utang Indonesia juga relatif rendah dibandingkan negara lain.

“Mengenai utang luar negeri, Indonesia sekarang utang luar negeri kita, sebagai rasio perbandingan terhadap barang domestik bruto kita salah satu terendah dalam tempat dunia. Jadi itu masih berada di dalam tempat sekitar 40%. Kita tak pernah default, kita tak pernah gagal utang,” kata Prabowo, dalam debat capres ketiga, Minggu (7/1/2024).

Prabowo menyampaikan pendapat yang digunakan disebut saat menjawab pertanyaan Anies baswedan, capres nomor urut 1, mengenai rasio utang yang digunakan dimaksud ideal.

Berdasarkan data pemerintah, faktanya rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang terbilang paling rendah, yakni sekitar 38,65% terhadap PDB per akhir 2022. Sementara itu, berdasarkan data Trading Economics, nilai rasio utang sekitar 39,57% PDB. Rasio utang itu berjauhan lebih tinggi banyak rendah dibandingkan negara lain, seperti Jepang juga Amerika Serikat (AS) yang tersebut mana menyentuh lebih besar lanjut dari 100%.

Undang-Undang Indonesia sendiri membatasi rasio utang terhadap PDB maksimal 60%.

Terkait pernyataan gagal bayar, Prabowo juga benar oleh sebab itu Indonesia tidaklah pernah gagal bayar utang luar negeri atau default. Hal itu pernah diungkapkan Kementerian keuangan.

Alhamdullilah, Sejarah Indonesia, kita tiada ada pernah default (gagal bayar utang),” tutur Direktur Surat Utang Negara (SUN) DJPPR Kementerian Keuangan Deni Ridwan dalam acara CNBC Indonesia Money Talks On Location 2023, Rabu (14/6/2023).

Dia juga menambahkan bahwa kondisi utang Indonesia bukan berbahaya saat ini. Terbukti dari nota keuangan, Indonesia tetap membayar bunga dan juga juga utang pokoknya.

Kendati Indonesia tiada pernah gagal bayar. Namun, Indonesia juga pernah merasakan pengalaman pahit mengenai utang luar negeri, terutama saat harus berhadapan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

Panjang dan juga juga Pahit Perjalanan Utang Luar Negeri Indonesia
Sejarah utang luar negeri Indonesia sudah bermula dari presiden pertama RI Soekarno. Proklamator Indonesia itu memandang utang luar negeri sebagai penghinaan oleh sebab itu melukai harkat martabat bangsa.

Namun, proyek mercusuar yang digunakan mana dibangun Soekarno mulai dari Tugu Monumen Nasional (Monas), Gelora Bung Karno (GBK), hingga beberapa jumlah agregat patung peringatan.
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)).

Indonesia pada Juli 1959 meminjam dari Uni Soviet US$ 12,5 untuk membangun Stadion GBK serta US$ 250 jt untujk membeli peralatan perang Trikora pada 1960.

Indonesia juga mempunyai utang sebesar 4,2 miliar Gulden yang dimaksud hal itu merupakan wairsan Hindia Belanda. Pada Agustus 1965, Indonesia keluar dari IMF dengan catatan utang US$ 63,5 juta.

Utang luar negeri Indonesia terus bertambah pada era Soeharto yang tersebut gencar melakukan perkembangan infrastruktur. Utang pada masa orde baru lebih banyak besar didominasi oleh loan, soft loan, grant ataupun pinjaman program.
Indonesia juga mulai menjalin kerja mirip dengan lembaga multilateral seperti Asian Development Bank (ADB) kemudian Bank Dunia untuk mencari pinjaman luar negeri.

Era Order baru yang tersebut dimulai pada 1966 berakhir pada 1998 setelah Krisis Moneter meluluhlantakan kondisi ekonomi, sosial, serta kebijakan pemerintah Indonesia. Krisis yang juga memproduksi tumpukan utang baik dari pemerintah serta swasta menggunung.

Derita RI Terlilit Utang IMF

Menurut laporan Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan juga juga Saran, pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar.
Presiden Soeharo pada Januari 1998 bahkan harus menandatangani Letter of Intentatau LoI dengan IMF. Indonesia pun menjadi pasien IMF selama bertahun-tahun.

IMF menyetujui pinjaman senilai 17,36 Special Drawing Rights (SDR) pada 1998 meskipun semata-mata sekadar dicairkan sebesar 11,1 miliar SDR.

Indonesia menerima pinjaman pertama kali pada 10 November 1997 senilai 2,2 miliar SDR atau sekitar US$ 3 miliar. Sedangkan pencairan terakhir pada 2003 sebesar 1,38 miliar SDR yang berlangsung dalam empat tahap masing-masing sebesar 344,06 jt SDR.

Kemudian pada 25 Agustus 1998, Lembaga Moneter Internasional menyetujui pinjaman dalam bentuk extended fund facility (eff) senilai 5,38 miliar SDR namun yang yang disebut dicairkan belaka 3,8 miliar SDR.

Lalu, pada 4 Februari 2000, kembali disetujui sebesar 3,64 miliar SDR lalu semua dicairkan. Pinjaman IMF yang dimaksud disebut tak dicairkan secara langsung tetapi secara bertahap mulai 1997 hingga 2003.

Outstanding utang luar negeri pemerintah pun meningkat tajam dari Rp 237 triliun pada 1997 menjadi Rp 581 triliun pada 2000.

Semua utang IMF sudah lunas pada Oktober 2006 di tempat dalam era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pemerintah melakukan pembayaran pokok utang senilai US$ 11,1 miliar sepanjang 2001-2006. Adapun pembayaran terakhir dijalankan pada 12 Oktober 2006 senilai 2,15 miliar SDR. Setelah pembayaran tersebut, maka utang Indonesia ke IMF lunas.

Sedangkan untuk pembayaran beban lalu juga bunga pinjaman berlangsung sejak 1998-2006 senilai 2,1 miliar SDR dengan pembayaran terakhir dijalankan pada September 2006. Dengan demikian total pembayaran utang Indonesia ke IMF, baik pokok juga juga bunga mencapai 13,21 miliar SDR.

Obat Pahit IMF yang tersebut hal tersebut Memperbaiki Pengeloalan Utang RI
Pinjaman IMF menjadi “obat pahit” bagi Indonesia dikarenakan justru menciptakan dunia usaha Indonesia limbung.

Ada 50 butiran kesepakatan dalam perjanjian dengan IMF yang menimbulkan perekonomian Indonesia ambruk mulai dari likuidiasi 16 bank hingga penerapan nilai tukar mengambang atau sesuai pasar. Kondisi sektor kegiatan ekonomi Indonesia bahkan memburuk yang mana mana berdampak besar terhadap kehidupan sosial lalu juga politik.
Presiden Soeharto lalu juga Era Baru harus turun pada Mei 1998 dikarenakan krisis ekonomi, politik, kemudian sosial yang tersebut itu juga berujung pada kerusuhan.

Namun, Krisis Moneter 1997/1998 juga menyebabkan Indonesia banyak berbenah terutama dalam pengelolaan perbankan juga juga keuangan negara.

Pemerintah menerbitkan Undang Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang digunakan mana mengatur batas defisit. Defisit anggaran dibatasi maksimal cuma cuma 3% dari PDB. Jumlah utang dibatasi maksimal 60% dari PDB.
Mulai era reformasi, utang juga bukan ada dianggap sebagai pelengkap atau penerimaan pembangunan. Utang dianggap sebagai bagian dari pembiayaan atas defisit anggaran.

Pemerintah kemudian menggali berbagai macam sumber pembiayaan defisit mulai dari menerbitkan Surat Utang Negara (SUN), pemasaran aset, hingga privatisasi aset negara atau BUMN.
Mulai 1999, pemerintah juga mulai menggali sumber utang dari dalam negeri. Sebagai catatan, pemerintah selalu mengandalkan utang dari luar negeri hingga 1998.

Pada awal reformasi yakni pada 2000, rasio utang Indonesia membengkak menjadi 70% dari PDB.
Outstanding utang pada 2000 membengkak menjadi Rp 1.333 triliun yang tersebut mana terdiri dari utang valas senilai Rp 581 triliun serta juga rupiah sebesar Rp 652 triliun.
Rasio sumber utang bergeser dari mayoritas luar negeri menjadi lebih tinggi lanjut dari 50% dari dalam negeri.

 

Sejarah utang Indonesia memulai tonggak baru pada 2002 menerbitkan UU 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. UU yang digunakan mengizinkan pemerintah untuk mencari pembiayaan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN)

Utang melalui penerbitan SBN akan memudahkan pemerintah dalam mengelola APBN oleh sebab itu tiada ada persyaratan khusus yang digunakan digunakan mengikat seperti halnya pada pinjaman luar negeri.
Pemerintah juga lebih besar besar fleksibel dalam mengambil total utang yang mana diterbitkan sesuai kondisi pasar.

SBN kemudian tidaklah cuma dijual kepada lembaga/institusi. Pada 2006, pemerintah mulai jual surat utang ritel kepada warga Indonesia untuk memperkuat basis pemodal sekaligus mengurangi porsi asing.

Indonesia juga memperluas basis penanam modal pada area luar negeri dengan mengeluarkan beberapa surat utang denominasi valas mulai dari global bond, samurai bond, hingga global sukuk.

Namun, penerbitan SBN bukan tanpa masalah. Besarnya porsi asing dalam kepemilikan SBN menyebabkan Indonesia rentan terhadap gejolak pasar global.
Untuk menekan porsi asing, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mmewajibkan perusahaan asuransi untuk menempatkan pengerjaan sektor ekonomi mereka itu minimum 30% ke obligasi.

Pemerintah juga memperbanyak pelanggan ritel juga diperbanyak menjadi 3-5 kali setahun dari semula 1-2 per tahun. Kondisi ini setidaknya meningkatkan kepemilikan pemodal ritel dari semula cuma 1% pada awal 2010 pada saat ini angkanya sudah melonjak menjadi 7,71% per akhir 2023.

Pemerintah juga dibantu Bank Indonesia dalam mengelola yield SBN. BI akan masuk membeli SBN jika rupiah yield melonjak. Keberadaan BI juga menghasilkan porsi asing semakin berkurang, terutama setelah program burden sharing.

Kebijakan portofolio asuransi pada area instrument SBN, BI, serta peningkatan penanam modal ritel memproduksi pemerintah mampu mengurangi satu momok besar selama ini yakni besarnya porsi asing dalam kepemilikan SBN.

Porsi asing sudah sangat berkurang dari sekitar 37.77% pada akhir 2018 menjadi sekitar 14,93%  pada akhir 2023. Kendati rasio utang pemerintah sempat melonjak sebab Covid-19 tetapi semakin berkurangnya porsi asing akan mengurangi tekanan global saat terjadi ketidakpastian dalam dalam pasar keuangan global seperti sekarang ini.

CNBC INDONESIA RESEARCH

redaksi17.com

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *