Jakarta,REDAKSI17.COM – Produksi minyak RI semakin hari terus menunjukkan penurunan. Bahkan, per 4 November 2023, produksi harian minyak nasional tercatat “hanya” sebesar 571.280 barel per hari (bph), atau 86,5% dari target produksi minyak pada 2023 ini sebesar 660.000 bph.
Data itu berdasarkan data Kementerian Energi lalu Sumber Daya Mineral (ESDM) per 4 November 2023.
Bila dirunut ke belakang, produksi minyak nasional ini bahkan pada area bawah level produksi pada 1968.
Produksi minyak RI pada 1968, berdasarkan data BP Statistical Review, tercatat mencapai 599.000 bph, sebelum mengalami kenaikan terus-menerus yang digunakan mencapai masa puncak produksi pada 1977 sebesar 1.685.000 bph, lalu puncak produksi ke-2 sebesar 1.669.000 bph pada 1991, hingga kemudian terus mengalami penurunan secara bertahap.
Adapun sebelum 1968, produksi minyak RI masih berada pada level 400 ribuan barel per hari. Berikut datanya:
1965: 486.000 bph
1966: 474.000 bph
1967: 510.000 bph
1968: 599.000 bph
1969: 642.000 bph
1970: 854.000 bph
Bila dibandingkan dengan data produksi minyak rata-rata selama Januari-September 2023, produksi minyak harian ini juga terlihat penurunan. Mengutip data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), hingga September 2023 produksi minyak mencapai sebesar 608,6 ribu barel per hari (bph). Per 31 Oktober 2023 lalu, Kementerian ESDM mencatat produksi minyak 582,69 ribu bph.
Sementara lifting minyak pada Semester I 2023, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak lalu Gas Bumi (SKK Migas), tercatat baru mencapai 615,5 ribu bph, atau 93% dari target dalam APBN 2023 yang tersebut digunakan sebesar 660 ribu bph.
Adapun realisasi produksi minyak RI pada 2022 tercatat mencapai 644.000 bph.
![]() Data produksi minyak juga gas. (Dok: ESDM) |
Lantas, mengapa produksi minyak RI terus mengalami penurunan?
Menteri ESDM Arifin Tasrif membeberkan alasan terus menurunnya produksi minyak dalam negeri. Hal ini menurutnya lantaran sumur minyak pada Indonesia sudah tua, sehingga rasio air lebih tinggi tinggi besar dibandingkan minyak ketika diproduksi.
“Jadi memang kan sumur kita juga sudah tua ya memang sumurnya memang umur. Kan minyak itu semakin lama dipompa kan akan semakin dalam, kemudian campurannya juga identik air makin banyak. Jadi yang hal tersebut dipompa dulunya hasil minyak 10 liter, 9 liternya minyak, kalau sekarang sudah sekian puluh tahun sudah setengah liter minyak setengah liter air,” jelas Menteri Arifin dalam tempat Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Senin (6/11/2023).
Saat ini pemerintah terus mengupayakan untuk terus mempertahankan produksi minyak harian dalam negeri dengan memaksimalkan sumur tua dengan memperdalam pengeboran. Salah satu yang tersebut dimaksud dikerjakan adalah menambahkan produksi dari sumur minyak non konvensional (MNK) salah satunya dalam area Gulamo.
“Tapi untuk penambahan itu harus ada menambahkan yang tersebut baru, itu sekarang di area area Gulamo, itu yang dimaksud nonkonvensional atau MNK. Sejauh ini indikasinya sih ada harapan di dalam tempat Gulamo, oleh sebab itu sudah selesai dibor,” tuturnya.
Sementara itu, Praktisi Migas Hadi Ismoyo menilai cukup berat untuk merealisasikan target produksi terangkut (lifting) minyak seperti yang dimaksud mana sudah ditetapkan di dalam tempat dalam APBN 2023. Mengingat, target lifting minyak tahun ini berada di area area level 660 ribu barel per hari (bph).
“Proyeksi sampai akhir tahun diperkirakan sangat berat untuk mencapai target APBN di tempat dalam bilangan 660 ribu bph,” kata Hadi kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (6/11/2023).
Bahkan menurut Hadi, sampai akhir tahun 2023 diproyeksikan produksi minyak nasional justru akan di area tempat bawah 620 ribu bph dengan estimasi 609 ribu bph. Sedangkan untuk lifting minyak, diproyeksikan hingga akhir tahun ini cuma sekali berada pada area level 591 ribu bph.