Rencana pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menjadi perhatian publik. Pertemuan keduanya diyakini bisa menciptakan kebaikan dan stabilitas politik nasional.
Perjalanan politik kedua tokoh ini bisa dikatakan mengalami eskalasi politik yang dinamis. Momentum politik yang pertama kali menjadi penanda keduanya sebagai tokoh politik nasional yang berpengaruh adalah saat keduanya menjadi pasangan capres dan cawapres di Pemilihan Presiden 2009.
Pasangan ini lahir dari proses yang alot dan penuh dinamika sebelum kemudian memutuskan untuk bersama satu koalisi menghadapi pemilihan presiden.
Pasangan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjungan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai capres dan cawapres ini lahir dari kesepakatan politik yang tak mudah.
Kesepakatan tersebut kemudian dikenal publik lahir dari sebuah pertemuan yang kemudian dikenal publik sebagai Perjanjian Batu Tulis.
Perjanjian ini berisi tujuh pasal dengan pasal pamungkas soal komitmen Ketum PDI-P Megawati untuk mendukung pencalonan Prabowo Subianto di Pilpres 2014.
Lahirnya pasangan Megawati-Prabowo pada 2009 inilah yang menjadi momentum penguat hubungan kedua tokoh ini.
Sayangnya, di Pemilihan Presiden 2009 tersebut, pasangan Megawati-Prabowo hanya mampu meraup 26,8 persen suara. Pasangan ini hanya mampu berada di posisi kedua setelah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang memenangi kontestasi.
Koalisi PDI-P dan Gerindra kemudian berlanjut di luar pemerintahan. Keduanya menjadi dua parpol yang mengisi ruang oposisi, kekuatan penyeimbang pemerintahan yang dipimpin pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Lima tahun kemudian, menjelang Pemilihan Presiden 2014, hubungan Megawati dan Prabowo memasuki fase yang dingin. Hal ini karena langkah PDI-P yang justru menjatuhkan pilihan kepada kadernya, Joko Widodo, untuk maju sebagai capres dibandingkan mengusung Prabowo.
Padahal, informasi yang berkembang, di Perjanjian Batu Tulis saat Pemilihan Presiden 2009, PDI-P akan berganti mendukung Prabowo sebagai capres di 2014.
Faktanya kemudian, PDI-P mengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang kemudian memenangi kontestasi sebagai pasangan presiden-wakil presiden periode 2014-2019.
Sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi periode pertama tersebut, Gerindra tetap berada di luar pemerintahan menjadi kekuatan penyeimbang.
Pilpres 2019
Pada Pemilihan Presiden 2019 Prabowo kembali maju sebagai calon presiden yang didampingi Sandiaga Uno sebagai cawapres. Pasangan ini diusung oleh koalisi lima parpol, yakni Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan Berkarya. Sayangnya, pasangan Prabowo-Sandi gagal meraih kemenangan.
Pada akhirnya, Pilpres 2019 dimenangi presiden petahana Jokowi, yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin, dengan perolehan suara mencapai 60 persen.
Namun, saat pembentukan pemerintahan hasil Pilpres 2019, Prabowo pada akhirnya bergabung ke dalam pemerintahan periode kedua Jokowi ini. PDI-P sendiri sebagai parpol pengusung Jokowi membuka lebar masuknya Prabowo dan Gerindra ke dalam pemerintahan Jokowi saat itu.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dalam acara bincang Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (23/10/2019), menampik bahwa bergabungnya Partai Gerindra dalam koalisi pemerintahan merupakan upaya untuk bagi-bagi kekuasaan.
Hasto menyebutkan, langkah Presiden Jokowi hanya ingin konsolidasi politik terjadi dengan cepat agar pemerintah bisa segera bekerja, melaksanakan seluruh program pembangunan untuk meletakkan fondasi menuju Indonesia maju pada 2045.
Menurut Hasto, PDI-P tidak ingin pengalaman tahun 2014, ketika konsolidasi baru terwujud sekitar 1,5 tahun setelah pemilu, menjadi pertimbangan untuk menggandeng parpol nonpemerintah masuk koalisi, termasuk Partai Gerindra (Kompas, 25/10/2019).
Masuknya Gerindra bersama Prabowo ke dalam pemerintahan ini seakan memberikan karpet kepada Prabowo untuk maju dalam kontestasi Pilpres 2024.
Fakta itu kemudian nyata di Pilpres 2024, Prabowo berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, yang kemudian membuat retak hubungan Jokowi dan Megawati.
Puncaknya, dengan keputusan PDI-P yang mengumumkan pemecatan Jokowi beserta putra dan menantunya, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, dari keanggotaan partai pada pertengahan Desember 2024. Ketiganya dinilai melanggar kode etik dan disiplin partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri tersebut.
Jokowi dinilai menyalahgunakan kekuasaan untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi yang menjadi awal rusaknya sistem demokrasi, sistem hukum, dan sistem moral-etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan pelanggaran etik dan disiplin partai. Pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran berat.
Sementara Gibran dipecat karena melanggar etik partai karena maju sebagai calon wakil presiden 2024 dari partai lain. Di Pilpres 2024, Gibran maju berpasangan dengan Prabowo Subianto dan diusung Koalisi Indonesia Maju. Kemudian, Bobby dipecat karena maju sebagai calon gubernur Sumut dari partai lain.
Pertemuan Megawati-Prabowo
Pasca-terbentuknya pemerintahan Prabowo-Gibran yang memenangi kontestasi Pilpres 2024, dan PDI-P belum resmi bergabung ke dalam pemerintahan, rencana pertemuan Megawati dan Prabowo menjadi kunci dari jawaban kondisi akhir dari hubungan ketiga tokoh, yakni Megawati, Prabowo, dan Jokowi.
Hubungan Megawati dan Prabowo sebenarnya relatif baik meskipun sempat ”renggang” saat kontestasi Pilpres 2024.
Politisi senior PDI-P, Sidarto Danusubroto, mengaku mendapat pesan dari orang kepercayaan Presiden Prabowo Subianto untuk bisa mewujudkan pertemuan antara Prabowo dan Megawati.
Menurut Sidarto, pesan tersebut telah disampaikan kepada Megawati pada perayaan Hari Ulang Tahun Ke-52 PDI-P. Megawati disebut menyambut baik ajakan pertemuan dengan Prabowo itu.
Sambutan baik itu juga bisa ditangkap publik pada pidato Megawati di acara perayaan ultah PDI-P tersebut.
Megawati mengucapkan terima kasih kepada Prabowo karena telah merespons Surat Pimpinan MPR RI terkait tindak lanjut pemulihan nama baik dan hak-hak Bung Karno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia.
Dalam pidatonya, Megawati menyatakan bahwa kebijakan pimpinan MPR dan Presiden Prabowo tersebut harus menjadi momentum rekonsiliasi nasional.
Dalam pemberitaan Kompas pada 14 Januari 2024 disebutkan adanya potongan video saat perayaan HUT Ke-52 PDI-P. Dalam video berdurasi 30 detik itu tampak Sidarto berdiri seraya menunduk kepada Megawati yang tengah duduk di samping Ketua DPP PDI-P Puan Maharani. Sidarto lalu membisikkan pesan kepada Megawati yang kemudian diulangi oleh Puan. Terlihat gerak bibir Puan seperti menyampaikan kalimat, ”Presiden Prabowo minta ketemu langsung, minta ketemu sama Mama”.
Banyak pihak meyakini, pertemuan Megawati dan Prabowo akan banyak berdampak pada psikologi politik elite dan publik yang pada akhirnya juga memengaruhi arah konsolidasi politik ke depan. (LITBANG KOMPAS)