Jakarta, REDAKSI17.COM – Badan Meteorologi, Klimatologi, kemudian Geofisika (BMKG) memperingatkan, ada deretan ancaman kritis yang mana mana dapat terjadi jika efek perubahan iklim tidaklah segera ditangani. Khusus bagi Indonesia, efek perubahan iklim diprediksi dapat memicu penurunan produksi pangan. Bahkan berpotensi menyebabkan produksi padi RI anjlok hingga jutaan ton.
Karena itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan, semua pihak harus bekerja mirip melakukan langkah konkret mengatasi dampak perubahan iklim.
Jika tidak, keberlangsungan kehidupan manusia bisa jadi belaka terancam. Tak hanya saja sekali itu, dampak perubahan iklim juga bisa saja jadi memicu konflik yang dimaksud dimaksud sanggup mengganggu keamanan, stabilitas ekonomi, kemudian politik. Dampak perubahan iklim juga dapat mengupayakan ramalan bencana kelaparan pada dalam tahun 2050 dapat belaka terjadi.
Hal itu disampaikan saat acara peringatan Hari Meteorologi Dunia ke-74 pada Jakarta, Sabtu (23/3/2024). Sesuai tema yang digunakan diusung World Meteorological Organization (WMO) untuk momen peringatan tahun ini, ujarnya, semua pihak tanpa terkecuali harus menuju ke garis terdepan, melakukan aksi perubahan iklim.
“Perubahan iklim mencakup berbagai aspek, termasuk peningkatan suhu global, perubahan pola curah hujan, kenaikan permukaan air laut, serta dampaknya terhadap lingkungan juga manusia. Contoh nyata kenaikan suhu akibat perubahan iklim, mencairnya gletser atau lapisan es tropis pada area Puncak Jaya, Papua. Luas tutupan salju abadi pada ketinggian 4.884 MDPL itu menyusut hingga 98%, dari 19,3 kilometer persegi di dalam dalam tahun 1850 menjadi cuma 0,23 kilometer persegi dalam April 2022,” katanya dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (26/3/2024).
Tak semata-mata itu, kenaikan suhu melaju lebih banyak besar cepat lalu sudah mencapai kenaikan 1,45°C di dalam tempat atas suhu rata-rata di tempat tempat masa pra-industri.
“BMKG mencatat, secara keseluruhan tahun 2016 merupakan tahun terpanas dalam area Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.8 °C relatif terhadap periode klimatologi 1981 hingga 2020. Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C, dengan tahun 2019 berada pada peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 °C,” paparnya.
“Ada dua aksi yang hal tersebut dapat dilaksanakan yaitu mitigasi lalu adaptasi. Mitigasi berarti setiap pihak harus mengurangi penyebab daripada pemanasan global serta perubahan iklim. Sementara adaptasi ialah proses penyesuaian terhadap dampak yang tersebut digunakan ditimbulkan dari perubahan iklim. Jadi aksi iklim harus berorientasi mengintegrasikan antara tindakan mitigasi juga tindakan adaptasi,” tegas Dwikorita.
Untuk aksi mitigasi, terangnya, ada 5 sektor fokus aksi penurunan emisi gas rumah kaca dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Yaitu, sektor kehutanan, pertanian, energi, industri, lalu limbah. Dan, ada 8 fokus adaptasi yaitu ketahanan pangan, ketahanan ekosistem, ketahanan air, kemandirian energi, kesehatan, pemukiman perkotaan juga pedesaan, pesisir lalu pulau kecil, kemudian peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan lalu masyarakat.
Ketahanan Air
Di sisi lain, Dwikorita juga mengingatkan pentingnya menjaga ketahanan air.
“Jika ketahanan air melemah maka akan berdampak penting pada banyak hal, diantaranya ketahanan pangan lalu ketahanan energi Indonesia. Jika terus berlanjut akan memicu terjadinya konflik yang dimaksud hal tersebut berimplikasi terhadap stabilitas ekonomi, politik, lalu keamanan,” sebutnya.
“Jumlah penduduk terus meningkat sehingga di dalam dalam waktu bersamaan kebutuhan air juga terlibat meningkat. Kalau air tidak dikelola dengan baik, maka dampak buruknya akan sangat serius,” kata Dwikorita.
Dia pun mengutip data Bappenas terkait dampak perubahan iklim. Salah satunya, terhadap produksi padi nasional.
“Berdasarkan data yang dirilis Bappenas, perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi padi Indonesia sebesar 1,13 jt ton-1,89 jt ton. Lalu, 2.256 hektare (ha) sawah pun terancam kekeringan,” ungkapnya.
“Kondisi ketahanan pangan Indonesia, yang dimaksud dimaksud dilihat dari tingkat konsumsi pangan rumah tangga, juga membutuhkan perhatian. Angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan Prevalence of Undernourishment (PoU) pada 2022 meningkat menjadi 10,21% dari 8,49% pada 2021,” tambah Dwikorita.
Dia mengingatkan, jika tidaklah ada penanganan kritis atas ancaman tersebut, maka ramalan The Food and Agriculture Organization (FAO) atau Badan Pangan kemudian Pertanian Dunia mengenai krisis pangan global serta bencana kelaparan di tempat dalam tahun 2050 bukan tak mungkin jadi nyata.
Dalam kesempatan yang dimaksud sama, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan berharap, isu dampak perubahan iklim semakin menjadi perhatian kritis seluruh warga lalu pemangku kepentingan.
Dia mengingatkan, perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang tersebut mana sudah semakin langka lalu menimbulkan water hotspot.
“Perubahan iklim serta semakin parahnya fenomena anomali iklim menuntut perubahan fundamental pengendalian dampak yang mana hal itu relevan kemudian juga radikal. Selain terus membangun kemudian meningkatkan kesadaran penduduk akan dampak perubahan iklim, BMKG juga terus melakukan pengembangan serta juga perkembangan sistem peringatan dini multibahaya yang tersebut digunakan efektif,” katanya.
“Kami berharap para pemangku kebijakan dari level pusat hingga daerah terus meningkatkan kewaspadaan serta menerapkan early warning system yang dimaksud mana berbasis ilmu pengetahuan juga juga teknologi mutakhir. Dengan demikian, ancaman bencana dapat diminimalisir lalu diantisipasi semaksimal mungkin,” pungkas Ardhasena.