Yogyakarta (01/09/2025) REDAKSI17.COM – Pura Pakualaman menggelar Pagelaran Ringgit Wacucal untuk memperingati 13 Tahun Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY di tahun 2025 ini. Mengangkat Lakon ‘Wahyu Cakraningrat’, pagelaran wayang kulit ini ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa kepemimpinan bukanlah persoalan kekuasaan dan kekuatan, tapi anugerah Yang Maha Kuasa.
Pagelaran ini diadakan pada Minggu (31/08) malam, mulai pukul 20.00 WIB di Pura Pakualaman. Koordinator Peringatan 13 Tahun UUK DIY Pura Pakualaman, Novian Husada mengatakan, seluruh pihak yang terlibat dalam pagelaran ini adalah abdi dalem Pura Pakulamanan sendiri, termasuk dalangnya yakni Ki J.M. Suwondijati.
“Lakon ini mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan soal warisan atau kekuatan fisik semata, melainkan anugerah Tuhan. Dan kepemimpinan itu hanya akan datang kepada mereka yang berjiwa welas asih, adil, dan mampu mengayomi rakyatnya. Pagelaran ini pun kami buka untuk umum, bahkan kami mengundang rekan-rekan atau relasi abdi dalem yang berasal dari Negara lain,” ungkapnya.
Novian menuturkan, beberapa rekan abdi dalem yang berasal dari luar negeri turut menghadiri undangan pagelaran. Mereka ada yang berasal dari Prancis, Italia, dan India. Hal ini memang dilakukan untuk semakin memperkenalkan budaya Jawa ke masyarakat Negara lain.
Sebagai informasi, Ringgit Wacucal adalah pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dalam budaya Jawa. Kata ‘ringgit’ berarti wayang dan ‘wacucal’ merujuk pada penyajian yang berlarut-larut atau tidak berhenti, sehingga berarti wayang yang disajikan sampai selesai.
Menurut Novian, lakon Wahyu Cakraningrat berkisah tentang turunnya sebuah wahyu agung bernama Cakraningrat. Cakraningrat sendiri merupakan pusaka gaib berupa sinar suci yang diyakini memberi legitimasi, kekuatan, serta kewibawaan bagi seorang raja untuk memimpin jagat.
“Diceritakan, wahyu ini hanya akan menetap pada seorang ksatria yang suci hati, berbudi luhur, dan mampu mengendalikan hawa nafsunya. Dan kabar tentang turunnya wahyu ini mengguncangkan para raja dan ksatria dari berbagai kerajaan. Masing-masing berambisi untuk mendapatkannya, bahkan rela saling bertempur dan menyingkirkan saudara sendiri,” paparnya.
Novian mengatakan, dalam cerita ini, para tokoh Kurawa menempuh jalan tipu muslihat dan kekerasan demi mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Sementara itu, para Pandawa justru diuji dengan kesabaran, pengorbanan, dan ketulusan. Perebutan wahyu ini pun menjadi ajang ujian moral untuk mengetahui siapakah yang benar-benar layak menjadi pemimpin sejati.
“Pada akhirnya, Wahyu Cakraningrat tidak jatuh pada mereka yang mengandalkan keserakahan atau kesaktian. Melainkan kepada ksatria yang rendah hati, menjunjung kebenaran, dan berpegang pada dharma,” imbuhnya.
HUMAS DIY