Home / Daerah / Rumah Cinta di Masa Senja

Rumah Cinta di Masa Senja

Yogyakarta , REDAKSI17.COM – Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Budi Luhur milik Pemda DIY, menjadi rumah yang menyimpan harapan para lansia. Banyak cinta dan kasih sayang ditebar, merangkul mereka-mereka yang memasuki masa senja.

Simbah, begitu para pengabdi masyarakat ini menyapa mereka. Para pramurukti yang penuh cinta kasih, mengabdikan diri untuk melayani para Simbah. Memberikan kenyamanan pada para sepuh yang memilih menghabiskan waktu di BPTSW Budi Luhur, dengan penuh hormat dan keikhlasan.

Kepala BPTSW DIY, Tuty Amalia mengatakan, syarat utama untuk para Simbah bisa tinggal di Balai Sosial ini adalah harus benar-benar mau, dan tidak terpaksa. Simbah yang masuk ke BPTSW wajib tinggal di sana.

“Simbah yang ke sini dengan terpaksa, biasanya jadi tidak betah dan kadang menimbulkan permasalahan dengan simbah yang lain yang ada di sini. Jadi ketika keluarga yang mau masuk ke sini, harus dipastikan simbahnya, lansianya yang memang betul-betul mau, kersa untuk tinggal di tempat kami,” ungkap Tuty.

Di tempat ini, setiap hari para Simbah disibukkan dengan beragam aktivitas. Setelah sarapan, mereka diajak berjemur dan senam bersama di lapangan. Kegiatan demi kegiatan dirancang bukan sekadar untuk mengisi waktu, tapi untuk menghidupkan kembali semangat dan rasa berharga yang mungkin mulai memudar. Mulai dari kegiatan keagamaan, seni karawitan, keterampilan tangan, hingga pemeriksaan kesehatan rutin, semua dilakukan dengan penuh cinta.

Meskipun dengan keterbatasan yang ada, Simbah masih berusaha produktif, untuk bisa menghasilkan sesuatu, untuk bisa melakukan sesuatu. Dari tangan Simbah, lahir banyak karya seperti gelang, kalung, keset, sprei, sapu, dan banyak lagi. Ketika nanti ada tamu karya ini akan dijadikan cenderamata, dan dihargai dengan rupiah. Sebuah kebanggaan kecil yang membesarkan hati bagi para Simbah.

Simbah juga mandiri. Mencuci baju dan alat makan sendiri serta membersihkan tempat tinggal sendiri. Di masing-masing wisma yang berisi 6 kamar, Simbah berinteraksi dengan Simbah-Simbah lainnya, yang sebelumnya belum dikenal. Saling membantu, menjadi keluarga baru yang penuh kasih.

“Kami mengusung tagline Gemati Migunani, yang berarti merawat dengan kasih agar Simbah tetap merasa berguna dan produktif meski di usia lanjut,” ungkap Tuty.

Di sela rutinitas itu, perhatian juga diberikan pada hal-hal kecil yang sering terlupakan yaitu perawatan diri. Ada salon lansia di mana Simbah bisa dipotong rambutnya, dicuci, dirawat kukunya, hingga dibantu berdandan. Bukan soal penampilan semata, tapi agar para Simbah ini merasa segar, bersih, dan dihargai.

“Alhamdulillah Simbah bersih, jadi simbah sehat. Harapannya dengan dibuat seperti itu, Simbah bisa tetap segar, dan merasa di hargai,” ujar Tuty.

Bagi Simbah yang sudah tidak mampu beraktivitas sendiri, yang hanya terbaring di ranjang, ada Program Rinai Humanis (Ruang Isolasi Nyaman Aman Indah dan Humanis). Pada Rinai Humanis ini setiap pekan, Simbah diajak keluar menikmati udara segar, dipijat, dirawat kulitnya, atau sekadar didengarkan cerita-ceritanya. Karena meski tubuh mereka lemah, hati mereka tetap ingin ditemani, tetap ingin didengar.

Namun mengelola rumah bagi ratusan Simbah bukan perkara mudah. Pemda DIY mengelola 2 balai dengan jumlah total 200 Simbah. Maka, para pengelola ini juga harus memiliki 200 hati untuk 200 Simbah. Usia telah membawa Simbah kembali pada fase seperti anak-anak. Emosi para Simbah mulai berubah, kadang tenang, kadang mudah tersulut. Ada kalanya tiba-tiba menangis karena rindu keluarga. Ada kalanya ingin keluar, ingin bebas, tetapi aturan tidak memungkinkan mereka keluar begitu saja. Mereka hanya boleh keluar ketika ada pendamping atau keluarga yang menjemput dalam acara tertentu.

“Saya selalu mengingatkan kepada teman-teman, di sini kita bekerja dengan hati, dan harus hati-hati. Tanpa hati, pekerjaan ini akan terasa berat. Sulit. Karena setiap Simbah datang dari latar belakang yang berbeda, dengan cerita hidup yang panjang dan beragam luka. Mereka yang dulunya asing satu sama lain, kini harus berbagi tempat tinggal, berbagi cerita, berbagi keseharian,” papar Tuty.

Mengajak Simbah mandi, misalnya, tidak semudah memanggil orang biasa. Kadang mereka menolak, kadang lupa, kadang perlu waktu berhari-hari untuk membujuk. Mungkin hari ini belum mau, tapi kami tidak boleh menyerah. Para pegawai dituntut harus sabar, besok dicoba lagi, dan besoknya lagi. Simbah harus diingatkan dengan lembut, tanpa memaksa.

Begitu juga saat makan. Ketika makanan tidak berkenan di hati, Simbah sering menolak makan. Tidak boleh dipaksa, harus dibujuk dengan sabar agar Simbah tetap mau makan demi menjaga kesehatan mereka.

“Kami harus punya seratus hati untuk seratus Simbah. Jadi bukan Simbah yang harus memahami kami, tapi kami harus bisa memahami Simbah,” kata Tuty.

Merawat para lansia atau Simbah di panti bukanlah hal yang mudah. Di balik senyuman mereka, tersimpan berbagai kebutuhan yang harus diperhatikan dengan penuh kesabaran dan ketulusan. Meski pelayanan terbaik terus diupayakan, balai ini masih menghadapi sejumlah keterbatasan, khususnya dalam hal fasilitas dan sarana pendukung.

“Kami sadar, kondisi saat ini belum sempurna. Misalnya, ketika musim hujan, Simbah tidak bisa leluasa keluar dari asrama karena belum ada jalur yang teduh atau selasar yang menghubungkan ke aula atau halaman. Kami juga masih belum sepenuhnya ramah bagi Simbah yang menggunakan kursi roda,” ujar Tuty.

Selain keterbatasan fasilitas, anggaran yang terbatas juga menjadi tantangan tersendiri. Namun, keterbatasan ini tidak menjadi alasan untuk menyerah. Justru menjadi semangat bagi para pengelola dan staf panti untuk terus memberikan yang terbaik bagi para Simbah.

“Dengan sumber daya manusia yang terbatas, kami tetap berusaha melayani Simbah dengan sepenuh hati. Teman-teman di sini luar biasa. Mereka bekerja bukan hanya dengan tangan, tetapi juga dengan hati,” tambahnya.

Saat ini, panti juga dihadapkan dengan daftar tunggu yang cukup panjang. Banyak keluarga yang berharap bisa menitipkan orang tuanya agar mendapatkan perawatan lebih baik. Namun, panti harus mengatur kapasitas sebaik mungkin agar setiap Simbah yang tinggal dapat terlayani dengan optimal.

“Kalau kami belum bisa menerima semuanya, itu bukan karena kami menolak, tapi memang kapasitas kami terbatas. Karena itu, kami berharap peran serta masyarakat dan lingkungan sekitar untuk ikut peduli pada lansia di sekitarnya. Ini adalah tanggung jawab kita bersama,” ujarnya.

Tuty juga mengingatkan bahwa sebaik-baiknya tempat bagi seorang lansia tetaplah di rumah, bersama keluarga tercinta. Kehangatan keluarga, perhatian anak, cucu, dan kerabat dekat adalah kebahagiaan yang tak tergantikan.

“Kalau masih punya Simbah di rumah, rawatlah dengan kasih sayang. Mereka pasti lebih bahagia tinggal bersama keluarga, meskipun dengan segala keterbatasannya. Kasih sayang keluarga adalah obat terbaik bagi mereka.”

Dengan segala tantangan yang dihadapi, Tuty berharap ke depan akan ada lebih banyak dukungan, baik dari masyarakat maupun pemerintah, agar para Simbah dapat menjalani hari tua mereka dengan nyaman, bahagia, dan penuh arti.

Sri Siti, telah tinggal di tempat ini sejak tahun 2021. Sri bertutur, memilih tinggal di balai sosial ini karena tak lagi memiliki keluarga. Pandemi Covid-19 menjadi alasan dirinya mencari tempat yang lebih aman.

“Di luar kan nggak punya siapa-siapa,” ucapnya.

Ia menjalani rutinitas yang menyenangkan. Senin ada karawitan, Selasa pemeriksaan kesehatan, Rabu kegiatan keterampilan, Kamis pengajian, Jumat beragam kegiatan keagamaan, dan Sabtu adalah waktu untuk bersenang-senang.

“Di sini senang, banyak teman,” ucapnya dengan mata yang berbinar.

Sri suka sekali bernyanyi dan menari. Kini, meski langkahnya terbatas, semangatnya tetap utuh. Kesehariannya dijalani dengan sederhana dan mandiri. Mencuci pakaian, mengambil makanan, dan membersihkan diri dilakukan sendiri, meski dengan langkah perlahan.

“Alhamdulillah, masih mampu, walau pelan-pelan. Yang penting berusaha,” kata Sri.

Fasilitas kesehatan di balai ini pun membantu Sri tetap sehat. Ia rutin memeriksakan kondisi kakinya dan mengonsumsi obat secara teratur. “Dokternya baik, perawatnya juga sayang sama kita. Ada Bu Yanti, Bu Hani, Pak Siti, semua baik,” ujarnya.

Meski tinggal jauh dari keluarga, Ibu Sri menemukan kebahagiaan baru di BPSTW Budi Luhur. Di tempat ini, ia tidak sendiri. Ada teman, ada cerita, ada tawa yang dibagi bersama. Sri menyampaikan harapannya dengan tulus.

“Semoga semua yang merawat di sini diberi umur panjang, kesehatan, dan rezeki yang lancar. Kalau saya, tinggal menunggu giliran saja,” ucapnya. (uk/han/jon/stt/rcd)

Humas Pemda DIY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *