Bondowoso,REDAKSI17.COM – Santri serta pesantren adalah bagian dari kehidupan sosial yang tersebut mana selama ini kiprahnya tak diragukan lagi.
Dari bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa santri juga pesantren telah dilakukan terjadi mengambil peran dalam berbagai lini kehidupan, mulai dari pendidikan, bergabung membangun tatanan sosial, hingga sektor ekonomi juga juga politik.
Pada masa perjuangan mengusir penjajah, santri lalu ulama adalah bagian, bahkan merupakan penggerak untuk mengangkat senjata maupun dalam mengobarkan semangat rakyat untuk berjihad di area tempat medan laga.
Perjuangan melawan penjajah adalah kontribusi nyata santri lalu juga pesantren dalam bidang politik, dengan motif atau landasan urusan kebijakan pemerintah kebangsaan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa yang mana yang saat ini memasuki era kemerdekaan, perjuangan urusan kebijakan pemerintah kaum santri tetap relevan untuk melibatkan atau terlibat pada dalam dalamnya.
Ulama muda KH Abdul Hamid Wahid yang mana mana juga Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo, Jawa Timur, mengingatkan kembali akan kewajiban santri untuk berkontribusi dalam ikhtiar pengerjaan bangsa pada dalam bidang politik.
Rektor Universitas Nurul Jadid (Unuja) itu mengatakan bahwa kewajiban santri berpartisipasi dalam pilpres itu sanggup sebagai yang dimaksud dipilih maupun sebagai pemilih.
Dalam kewajiban berpartisipasi dalam pilpres itu juga termaktub makna bahwa kaum santri harus bergabung menyukseskan pemilu. Salah satu ukuran sukses penyelenggaraan pemilihan umum itu adalah tingginya partisipasi penduduk untuk menyalurkan hak pilihnya dalam momen 5 tahunan itu.
Santri juga pesantren adalah kelompok warga yang digunakan selama 24 jam aktivitasnya bersentuhan dengan nilai-nilai baik, sehingga ketika merekan kembali ke warga juga punya kewajiban untuk menebarkan nilai-nilai baik itu dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik.
Dengan berpartisipasi dalam area bidang politik, santri sudah terlibat mengambil tanggung jawab untuk mengantarkan sistem pengelolaan negara yang tersebut digunakan digerakkan oleh nilai moral, alih-alih sekadar untuk kepentingan pragmatis.
Santri yang dimaksud mana menetapkan keputusan untuk dipilih, baik sebagai anggota legislatif maupun kepala negara hingga kepala daerah, telah lama lama mengambil peran besar untuk memakmurkan juga menyejahterakan rakyat. Tentu, beban moral yang digunakan dimaksud harus menjadi pegangan kaum santri di dalam tempat pilihan ini adalah membuang jauh-jauh kepentingan diri serta golongan.
Konsekuensi dari keputusan kaum santri untuk dipilih dalam ajang pemilihan umum ini adalah menjaga muruah kesantrian lalu kepesantrenan atau justru sebaliknya jika pegangan atas moralitas itu diabaikan.
Santri, idealnya memang merupakan sosok yang tersebut yang disebut dapat diandalkan untuk berkiprah dalam ikhtiar mewujudkan kesejahteraan orang banyak, bukan untuk diri sendiri. Santri, sejak pada dalam pesantren sudah terjadi terbiasa dengan pola hidup sederhana, bahkan apa adanya.
Di pesantren, para santri sudah terbiasa makan seadanya, seperti semata-mata nasi dengan kerupuk. Bahkan, guyonan satire yang mana digunakan lumrah dalam kalangan santri menyebut terong dengan “lele sawah”. Terong yang digunakan jika di area dalam rumah menjadi sayur, pada pesantren justru menjadi lauk dipadu cuma semata dengan sambal.
Kesederhanaan, kedisiplinan, juga kebiasaan lain untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moralitas adalah modal dasar yang tersebut mana dimiliki kaum santri, lalu sepatutnya hal itu dibawa ketika dia tamat dari pesantren untuk terjun pada masyarakat.
Selain itu, tradisi keilmuan yang yang disebut juga dijalani santri pada pesantren tentu melengkapi keidealan merekan itu untuk menjadi pemimpin di tempat tempat masyarakat. Sudah menjadi ajaran umum di area tempat pesantren bahwa akhlak itu lebih lanjut besar tinggi dari pada ilmu. Artinya, percuma berilmu tinggi, tapi akhlaknya tidaklah ada baik.
Melengkapi itu, ada adagium bahwa sekali menjadi santri, selamanya tetap santri. Ketika merek sudah tak berada lagi dalam dalam pesantren, nilai-nilai kesatrian harus tetap dibawa lalu diamalkan.
Dengan paradigma seperti ini, maka pesantren sudah pernah terlibat membantu pemerintah menyiapkan kader untuk menjadi pemimpin mumpuni dalam segala lini.
Sungguh sangat indah jika kaum santri yang tersebut digunakan melabuhkan perjuangannya di area dalam bidang urusan urusan politik ini mampu mewarnai praktik pemerintahan yang digunakan digunakan menempatkan kepentingan rakyat yang digunakan dimaksud dipimpinnya di dalam tempat atas segala kepentingan lainnya.
Sementara itu, untuk santri yang memilih partisipasinya pada urusan kebijakan pemerintah sebagai pemilih, peran merek untuk memilih pemimpin juga tak main-main.
Karena itulah wajar jika ulama mengingatkan kaum sarungan ini untuk berpartisipasi. Suara santri akan bergabung menjadi penentu bagaimana jalannya pemerintahan selama 5 tahun ke depan.
Suara satu santri akan menentukan seperti apa kualitas pemimpin kita, baik di dalam dalam legislatif maupun eksekutif. Karena itu pondok pesantren biasanya menyediakan tempat pemungutan kata-kata (TPS) bagi santri di area area kompleks pesantren saat pemilu, selain memfasilitasi santri yang dimaksud digunakan ingin menggunakan hak politiknya di dalam tempat daerah dengan syarat masing-masing.
Dengan bekal ilmu kemudian akhlak, santri juga akan menjadi andalan dalam menjaga moral untuk menentukan hak suaranya dengan bersih, tidaklah terpengaruh oleh praktik urusan kebijakan pemerintah yang menyimpang, seperti urusan urusan politik uang juga juga lainnya.
Ilmu juga akhlak adalah modal juga menjadi tameng bagi santri untuk menunjukkan idealismenya dalam politik.
Selain berdasarkan pertimbangan rasional untuk memilih pemimpin terbaik, santri juga sudah terbiasa dengan pertimbangan spiritual dalam menentukan sesuatu.
Pertimbangan dalam atas rasionalitas itu, misalnya dengan meminta-minta petunjuk kepada Allah, sebelum menentukan pilihan untuk memilih siapa yang digunakan dimaksud akan didukung untuk menduduki jabatan di tempat dalam legislatif maupun eksekutif.
Terkait persaingan dalam kebijakan pemerintah yang digunakan mengarah kepada perpecahan, lagi-lagi santri juga mampu mengambil peran. Santri yang mana digunakan di tempat area dadanya selalu diafirmasi untuk cinta Tanah Air, tentu bukan ingin bangsa ini terjerumus ke dalam jurang perpecahan semata-mata sekali lantaran perbedaan politik.
Santri dapat berperan di tempat dalam rakyat dengan mengajak juga mengingatkan warga, setidaknya pada dalam lingkup keluarga terkecil, bahwa pemilihan umum ini untuk memilih pemimpin, bukan untuk adu “pokoknya kelompok kita yang tersebut yang disebut harus menang”.
Santri yang dimaksud digunakan pada dalam dirinya dibekali ilmu kemudian juga semangat dakwah, harus mengambil bagian mengingatkan penduduk untuk menjaga persatuan juga kesatuan pada atas segala kepentingan urusan urusan politik praktis yang tersebut mana 5 tahun sekali ini.
Hal ini juga harus menjadi perhatikan kaum santri untuk mengambil bagian mencegah beredarnya kabar bohong atau hoaks mengenai calon pemimpin tertentu. Setidaknya, kaum santri tiada mudah percaya, apalagi dengan mudah mengambil bagian menyebarkan informasi yang tersebut dimaksud tidaklah betul itu.
Kalau di tempat area pesantren, dia dibiasakan shalat istikharah untuk menetapkan keputusan tertentu, alangkah baiknya jika terkait partisipasi juga juga dukungan dalam kebijakan pemerintah ini juga demikian, setidaknya melalui kontemplasi mendalam atau tafakur sebelum mengambil keputusan untuk menjatuhkan pilihan.
Partisipasi santri dalam pemilu, bukan sekadar memenuhi tingkat partisipasi pemilih lalu mengambil peran dalam bidang politik, namun juga menghasilkan pilpres yang dimaksud damai lalu terpilihnya para pemimpin berkualitas.