Jakarta,REDAKSI17.COM – Senator Amerika Serikat (AS) Lindsey Graham terang-terangan menyokong Israel untuk menjatuhkan bom nuklir di tempat area Gaza agar perang segera berakhir. Dia menyinggung aksi AS mengebom Hiroshima serta Nagasaki pada 1945.
Graham membandingkan perang Israel melawan Hamas dengan keputusan AS untuk menjatuhkan bom atom pada tempat Jepang pada Perang Dunia 2 selama wawancara pada “Meet the Press” NBC News.
“Ketika kami dihadapkan pada kehancuran sebagai sebuah bangsa setelah Pearl Harbor, melawan Jerman serta Jepang, kami memutuskan untuk mengakhiri perang dengan mengebom Hiroshima [dan] Nagasaki dengan senjata nuklir,” kata Graham. “Itu adalah keputusan yang tersebut tepat.”
Dia menambahkan, “Beri Israel bom yang mana merek itu butuhkan untuk mengakhiri perang. Mereka tiada boleh kalah.”
Graham, seseorang pendukung setia Israel, menggunakan analogi ini beberapa kali ketika mengutuk Presiden Joe Biden lantaran mengancam akan menahan senjata tertentu dari Israel jika Israel melancarkan operasi militer pada Rafah, kota paling selatan di tempat area Gaza tempat lebih tinggi tinggi dari satu jt warga sipil berlindung.
Ketika ditanya mengapa Presiden Ronald Reagan boleh sekadar menahan senjata tertentu dari Israel selama perang dalam Lebanon pada tahun 1980-an, namun tidaklah ada boleh jika Biden mengancam akan melakukannya sekarang, Graham sekali lagi mengungkit Perang Dunia II.
“Bolehkah aku mengatakan ini?” Dia bertanya. “Mengapa Amerika diperbolehkan menjatuhkan dua bom nuklir pada area Hiroshima kemudian Nagasaki untuk mengakhiri ancaman perang mereka? Mengapa kami boleh melakukan hal itu? Saya pikir itu baik-baik saja.”
“Jadi, Israel, lakukan apapun yang yang harus Anda lakukan untuk bertahan hidup sebagai negara Yahudi. Apapun yang dimaksud mana harus kamu lakukan.”
Dia juga mengkritisi keras para pejabat militer AS.
“Ya, para pejabat militer yang dimaksud Anda bicarakan ini benar-benar omong kosong,” jawab Graham.
Komentarnya muncul tak lama setelah Menteri Luar Negeri Antony Blinken menolak untuk mengidentifikasi “garis merah” dengan Israel.
“Jika tiada ada rencana yang tersebut itu kredibel untuk menghasilkan [warga sipil] keluar dari bahaya lalu menggalang mereka, presiden sudah pernah sudah jelas untuk beberapa waktu bahwa kami bukan dapat serta juga tiada akan menyokong operasi militer besar-besaran di dalam dalam Rafah.”
Blinken juga mengeksplorasi kegelisahan AS mengenai pemanfaatan bom “muatan tinggi”.
“Kami telah dilakukan lama menahan diri juga juga sedang melakukan pembicaraan berpartisipasi dengan Israel mengenai penyediaan senjata berat atau muatan tinggi, bom besar, dikarenakan kecemasan yang itu kita miliki mengenai dampak senjata-senjata ini ketika digunakan di dalam area lingkungan perkotaan yang dimaksud padat seperti Rafah.”
Sementara itu, Graham berpendapat bahwa Hamas harus disalahkan atas jatuhnya korban sipil selama konflik.
“Saya pikir tak ada mungkin mengurangi kematian warga sipil di dalam tempat Gaza selama Hamas menggunakan penduduknya sebagai tameng manusia. Saya belum pernah melihat dalam sejarah peperangan adanya upaya terang-terangan yang dimaksud digunakan dijalani musuh – Hamas – yang tersebut mana membahayakan warga sipil,” katanya.
“Hal terakhir yang dimaksud digunakan ingin Anda lakukan adalah menghargai perilaku ini,” tambah Graham.
Sebelumnya, Menteri Warisan Israel Amichai Eliyahu juga pernah melontarkan pernyataan serupa. Dalam wawancara dengan stasiun radio Israel Kol Barama, Eliyahu menyatakan bahwa senjata nuklir mampu menjadi pilihan dalam konflik yang tersebut digunakan sedang berlangsung dengan Hamas.
Itu memproduksi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bereaksi. Ia dilaporkan mendisiplinkan Eliyahu dengan memberlakukan skorsing.