Jakarta,REDAKSI17.COM – Bank Indonesia kembali mempertahankan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate, sebagai hasil rapat dewan gubernur pada 22-23 November 2023. BI rate dipertahankan di area area level 6%, serupa seperti level saat kenaikan bulan lalu sebesar 25 basis points (bps) pada 19 Oktober 2023.
“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 22-23 November 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, juga juga suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo saat konferensi pers dalam kantornya, Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Perry menjelaskan, keputusan ini tetap konsisten dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan juga juga forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atau imported inflation, sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 serta 2,5±1% pada 2024.
Perry menjelaskan, kebijakan suku bunga acuan ini didasarkan atas kondisi dunia perniagaan global yang digunakan itu masih penuh dengan ketidakpastian. Di antaranya, didasari dari ekonomi Amerika Serikat (AS) masih tumbuh kuat didorong oleh konsumsi rumah tangga serta sektor jasa yang mana hal itu berorientasi domestik, sementara kegiatan sektor ekonomi Tiongkok membaik didukung oleh konsumsi juga dampak stimulus kebijakan fiskal.
Bank Indonesia memperkirakan, pertumbuhan sektor dunia usaha Amerika Serikat masih akan tumbuh pada tahun ini, dari semula perkiraan belaka sebesar 1,9% menjadi bias ke atas ke level 2,1% sebab faktor-faktor konsumsi yang digunakan digunakan masih tinggi. Di sisi lain, inflasi juga masih akan sulit turun ke level normalnya di dalam dalam kisaran 2%.
BI memperkirakan, inflasi Amerika Serikat masih akan bertengger di area dalam level 3,4% sampai dengan akhir tahun ini , serta inflasi intinya akan masih tinggi pada kisaran 4%. Penyebabnya, faktor jasa dalam sektor ketenagakerjaan masih akan ketat, sehingga tekanan inflasi masih berpotensi ada dalam negara itu, berpengaruh ke arah kebijakan suku bunga fed fund rate.
“Inflasi di dalam dalam negara maju masih dalam area atas target dengan tekanan yang tersebut itu mulai mereda. Dengan perkembangan inflasi ini, suku bunga kebijakan moneter termasuk Federal Funds Rate (FFR) diprakirakan bertahan tinggi dalam jangka waktu yang mana mana lama atau dikenal dengan istilah higher for longer,” ucap Perry.
Di sisi lain, yield obligasi Pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury), naik tinggi oleh sebab itu premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait tingginya kebutuhan untuk pembiayaan fiskal. Ketidakpastian pasar keuangan masih berlanjut juga berpengaruh terhadap volatilitas aliran modal juga tekanan nilai tukar di area area negara emerging market.
Dari dalam negeri, ia mengatakan, pertumbuhan kegiatan sektor ekonomi domestik masih cukup kuat didukung oleh permintaan domestik yang tersebut mana terjaga. Kinerja dunia perniagaan pada kuartal III-2023 masih tumbuh sebesar 4,94% secara tahunan ditopang oleh konsumsi rumah tangga lalu meningkatnya konstruksi dunia usaha di area area tengah turunnya konsumsi pemerintah kemudian kinerja ekspor.
“Pertumbuhan juga didukung oleh kinerja positif sebagian besar Lapangan Usaha (LU), terutama LU Industri Pengolahan, Perdagangan Besar kemudian Eceran, serta Konstruksi. Secara spasial, seluruh wilayah masih tumbuh kuat, tertinggi dalam dalam wilayah Sulawesi-Maluku-Papua atau Sulampua,” tutur Perry.
Ia memperkirakan, pertumbuhan dunia usaha akan tetap baik pada kuartal IV-2023 tercermin pada beberapa indikator dini seperti keyakinan konsumen, ekspektasi penghasilan, serta Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur. Dengan begitu, keseluruhan tahun ia perkirakan perekonomian masih akan tumbuh di tempat dalam kisaran 4,5%-5,3%.
“Pertumbuhan sektor ekonomi 2024 diprakirakan meningkat didorong oleh tetap baiknya keyakinan konsumen, positifnya pengaruh pelaksanaan Pemilu, juga berlanjutnya pengerjaan Proyek Strategis Nasional (PSN),” ucap Perry.
Indikator perekonomian lainnya, seperti nilai tukar rupiah masih cukup stabil menghadapi dolar AS. Perry mengatakan, nilai tukar Rupiah pada 22 November 2023 menguat 1,99% dibandingkan dengan level akhir Oktober 2023.
Secara year-to-date, nilai tukar Rupiah tercatat stabil, dengan depresiasi terbatas 0,04% dari level akhir Desember 2022, lebih tinggi banyak baik dibandingkan dengan Rupee India, Baht Thailand, lalu Ringgit Malaysia yang tersebut yang masing-masing tercatat melemah sebesar 0,70%, 1,70%, lalu 5,84%.
Inflasi pun hingga akhir tahun ia perkirakan masih akan tetap di dalam dalam kisaran target 3,0±1% pada 2023 dan juga juga 2,5±1% pada 2024. Didukung kinerja inflasi Oktober 2023 sebesar 2,56% (yoy), meskipun sedikit lebih tinggi lanjut tinggi dari level bulan sebelumnya sebesar 2,28% (yoy). Tapi, inflasi inti yang tersebut hal itu di area area level 1,91% ditegaskannya turun dari bulan sebelumnya dalam dalam level 2%.
Kredit perbankan pun menurut Perry pada Oktober 2023 masih tumbuh 8,99% (yoy), didukung peningkatan permintaan pembiayaan sejalan dengan kinerja korporasi kemudian konsumsi rumah tangga yang dimaksud dimaksud terjaga. Pembiayaan syariah juga terus meningkat mencapai 14,68% (yoy) pada Oktober 2023.
Untuk memperkuat kinerja perekonomian secara umum, ia menekankan, selain dengan kebijakan suku bunga acuan, BI juga akan memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas lalu mengupayakan pertumbuhan dunia bisnis yang digunakan berkelanjutan, dengan berbagai kebijakan.
Kebijakan itu pada antaranya memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi pada dalam pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dalam dalam pasar sekunder.
Lalu, penguatan strategi operasi moneter yang digunakan hal itu “pro-market” untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) serta Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), serta penerbitan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI)
Peningkatan efektivitas insentif likuiditas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) melalui penguatan sosialisasi, komunikasi kemudian koordinasi dengan Pemerintah, otoritas keuangan, Kementerian/Lembaga, perbankan serta pelaku usaha.
Pendalaman kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan fokus pada suku bunga kredit per sektor ekonomi, diiringi dengan percepatan digitalisasi sistem pembayaran untuk efisiensi transaksi serta perluasan habitat Ekonomi Keuangan Digital (EKD).
Khusus untuk digitalisasi sistem pembayaran itu akan diperkuat dengan peningkatan efektivitas implementasi kebijakan QRIS baik QRIS TUNTAS maupun Merchant Discount Rate (MDR) QRIS untuk Usaha Mikro (UMI), serta perluasan kerja mirip QRIS antarnegara;
Selain itu juga dengan perpanjangan masa berlaku kebijakan kartu kredit (KK) juga juga tarif Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) sampai dengan 30 Juni 2024, yaitu dengan kebijakan batas minimum pembayaran oleh pemegang KK sebesar 5% dari total tagihan serta kebijakan nilai denda keterlambatan sebesar maksimum 1% dari total tagihan serta tidaklah melebihi Rp100.000 juga tarif SKNBI sebesar Rp1 dari BI ke bank kemudian tarif SKNBI maksimum Rp2.900 dari bank kepada nasabah.
“Kemudian, dengan penguatan literasi Kartu Kredit Indonesia (KKI) Segmen Pemerintah guna meningkatkan efektivitas penggunaannya,” papar Perry.