Home / Ekobis / Sinyal Ekonomi Sulit Pasca Kenaikan BI Rate

Sinyal Ekonomi Sulit Pasca Kenaikan BI Rate

Sinyal Ekonomi Sulit Pasca Kenaikan BI Rate

Jakarta,REDAKSI17.COM   – Sejumlah kalangan mulai dari bankir hingga pelaku bidang usaha memperkirakan kondisi perekonomian Indonesia berpotensi tertekan, akibat dampak dari keputusan Bank Indonesia yang digunakan menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate pada April 2024 menjadi 6,25%.

Dari kalangan pengusaha, peringatan kesempatan tekanan kegiatan dunia usaha akibat kenaikan BI Rate itu disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani serta Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani. Mereka menyoroti kesempatan perlambatan kegiatan perekonomian 2024.

Shinta mengatakan, dengan kenaikan suku bunga acuan itu, maka target pertumbuhan perekonomian pemerintah pada tahun ini sebesar 5,2% akan sulit dicapai. Sebab, beban bunga kredit akan tinggi untuk ekspansi bidang bidang usaha maupun konsumsi masyarakat.

“Target ini akan sulit dicapai bila suku bunga terlalu tinggi atau tak affordable, sementara kondisi geopolitik juga turut menekan kemungkinan perkembangan ekonomi dan juga juga perluasan usaha. Jadi sedapat mungkin beban-beban terhadap penciptaan perluasan kinerja usaha, investasi, serta ekspor pada pelaku industri dalam negeri harus ditingkatkan efisiensinya, bukan ditambah,” tegas Shinta dikutip dari keterangannya, Kamis (25/4/2024).

Sementara itu Ajib menambahkan, dengan kebijakan suku bunga BI yang dimaksud yang disebut ia kategorikan sebagai kebijakan agresif bisa saja cuma menimbulkan tiga permasalahan pada perekonomian Indonesia. Pertama ialah akan perbankan yang digunakan dimaksud cenderung akan menaikkan suku bunga kredit, sehingga pada dalam sektor usaha akan mengalami kenaikan cost of fund.

“Hal ini akan menggerakkan kenaikan Harga Pokok Penjualan (HPP) atas produksi. Inilah hal pertama yang tersebut itu perlu dimitigasi, yaitu timbulnya inflasi oleh sebab itu kenaikan tarif pokok produksi atau cost push inflation,” ucap Ajib.

Kedua ialah terkait pelemahan daya beli masyarakat. Dengan semakin sedikitnya likuiditas lalu kesempatan kenaikan nilai tukar jual barang, maka daya beli warga akan mengalami tekanan. Apalagi pemerintah juga mempunyai ruang fiskal yang dimaksud yang disebut relatif terbatas untuk menopang daya beli umum dengan skema bantuan sosial (bansos).

Tantangan ketiga menurutnya pelambatan ekonomi. Pertumbuhan kegiatan sektor ekonomi kata Ajib sebetulnya saat ini sedang menghadapi masalah, yaitu tren yang dimaksud hal itu menurun. Pada 2022 pertumbuhan sektor perekonomian secara agregat mencapai 5,31% kemudian pada 2023 semata-mata sekali mencapai 5,05%.

“Ketika pemerintah menimbulkan kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan, semakin tidaklah mudah mencapai pertumbuhan kegiatan dunia usaha yang mana mana diharapkan,” ucap Ajib.

Sejumlah bankir bahkan mengaku terkejut dengan keputusan BI menaikkan suku bunga acuan April 2024, meskipun alasannya untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah yang tersebut yang disebut terus melemah ke level atas Rp 16.000. Sebab, bagi bankir saat ini perekonomian Indonesia belum pulih sepenuhnya dari dampak Pandemi Covid-19.

Direktur Utama Allo Bank Indonesia (BBHI) Indra Utoyo mengatakan hal tersebut. Menurutnya, tingkat suku bunga tinggi akan berdampak langsung pada pembiayaan oleh industri perbankan, mengingat faktor ketidakpastian terus menjadi acuan utama dalam pengelolaan risiko pembiayaan.

“dapat disimpulkan industri perbankan akan menghadapi tekanan untuk menjaga NII/NIM pada tahun 2024, sedangkan nilai tukar rupiah diharapkan dapat terjaga setelah BI menaikkan tingkat suku bunga,” ujar Indra.

Ia mengatakan, jika melihat indikator perekonomian, langkah BI menaikkan suku bunga kurang relevan dengan kondisi saat ini. Pasalnya, jelas Indra, pengendalian laju inflasi yang mana mana masih dalam level baik sebesar 3,05%, masih dalam target Bank Indonesia 2,5% ± 1%.

Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (BJTM) Busrul Iman menambahkan, pihaknya bahkan mau tiada mau melakukan evaluasi terhadap DPK, yang mana yang dia sebut sensitif terhadap perubahan suku bunga.

“Meningkatnya suku bunga ini secara makro akan berpengaruh kepada inflasi juga daya beli penduduk serta sektor riil. Sebagai pelaku pada dalam industri perbankan, tentu mau tidak ada ada mau kami harus melakukan evaluasi terutama dari sisi Dana Pihak Ketiga utamanya yang dimaksud dimaksud sensitif terhadap suku bunga,” ujar Busrul saat dihubungi CNBC Indonesia, Rabu (24/4/2024).

Direktur Utama BPD terbesar, Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat kemudian Banten (BJBR) atau BJB, Yuddy Renaldi juga menilai keputusan kenaikan BI Rate secara umum akan memberikan tekanan yang dimaksud lebih tinggi besar panjang terhadap perbankan dalam hal biaya dana.

Menurutnya, likuiditas juga mungkin akan mengetat pada tahun ini. “Perbankan harus mengelola dana pihak ketiga yang tersebut yang dimiliki dengan optimal dengan mencari sumber-sumber pendanaan yang dimaksud digunakan efisien,” kata Yuddy saat dihubungi CNBC Indonesia, Rabu (24/4/2024).


Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *