Home / Politik / Soroti Ibu – Bayi Meninggal Setelah Ditolak 4 RS, Sri Gusni: Evaluasi Sistem Layanan Maternal!

Soroti Ibu – Bayi Meninggal Setelah Ditolak 4 RS, Sri Gusni: Evaluasi Sistem Layanan Maternal!

 

Jakarta,REDAKSI17.COM — Partai Perindo menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas meninggalnya Irene Sokoy dan bayi yang dikandungnya, setelah diduga mengalami empat kali penolakan layanan medis dari rumah sakit di Jayapura, Papua. Peristiwa memilukan ini bukan sekadar masalah prosedural, melainkan potret nyata rapuhnya sistem kesehatan maternal di Indonesia.

Kematian Irene terjadi di wilayah yang tercatat memiliki angka kematian ibu dan bayi tertinggi di Indonesia. Papua memiliki AKI 565 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 38,17 per 1.000 kelahiran hidup (BPS 2020). Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 itu menegaskan bahwa tragedi yang dialami Irene bukanlah insiden terpisah, melainkan bagian dari krisis sistemik yang tak pernah benar-benar ditangani dengan serius.

Hasil investigasi awal Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), Irene tercatat sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Namun, status tersebut tidak mampu membuka pintu rumah sakit ketika nyawanya membutuhkan pertolongan segera.

Bahkan dengan kepesertaan resmi program kesehatan nasional, ia tetap ditolak dengan alasan kamar penuh, ketiadaan dokter spesialis, hingga renovasi fasilitas. Ketika pintu rumah sakit tertutup bagi pasien gawat darurat, maka negara telah gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya.

“Penolakan terhadap Irene adalah luka bagi kita semua. Dua nyawa hilang  bukan karena ketiadaan teknologi,  tetapi karena sistem pelayanan kesehatan membiarkan seorang ibu menunggu di depan pintu rumah sakit hingga napas terakhirnya,” tegas Sri Gusni, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Perindo.

Dia menegaskan bahwa negara tidak boleh berhenti pada ungkapan keprihatinan. Tragedi ini harus menjadi alarm terakhir bahwa sistem rujukan dan layanan maternal di Indonesia membutuhkan perbaikan menyeluruh.

“Kematian Irene Sokoy harus menjadi momen peringatan terakhir. Kita tidak boleh lagi membiarkan ibu dan bayi meninggal hanya karena sistem kesehatan kita rapuh dan tidak siap. Negara wajib hadir bukan hadir sebagai slogan, tetapi hadir sebagai penyelamat nyawa rakyatnya,” lanjut Sri Gusni.

Salah satu persoalan mendasar adalah keterbatasan jumlah dokter spesialis, khususnya di bidang obstetri dan ginekologi, yang membuat layanan maternal di Papua dan banyak daerah lain tidak dapat berjalan optimal. Secara nasional, rasio dokter spesialis pada 2025 hanya 0,18 per 1.000 penduduk, sementara di Papua jauh lebih rendah, berkisar 0,13 per 1.000 penduduk, jauh dibawah kebutuhan ideal masyarakat.

Distribusi tenaga kesehatan pun tidak merata, di mana sebagian besar dokter terkonsentrasi di Jawa, sementara di Papua masih banyak fasilitas kesehatan yang belum memiliki dokter sesuai standar pelayanan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan layanan kesehatan merupakan persoalan kebijakan yang harus segera dijawab dengan langkah nyata oleh pemerintah pusat agar setiap ibu hamil di daerah terpencil tetap memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang berkeadilan.

“Tidak boleh ada lagi rumah sakit yang bersembunyi di balik alasan teknis. Tidak boleh ada lagi keluarga yang kehilangan anak dan ibu karena sistem tidak bekerja. Nyawa manusia bukan angka statistik, melainkan amanat konstitusi yang harus dijaga negara tanpa syarat,” ujar Sri Gusni yang merupakan alumni S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat dan S2 Intervensi Sosial, Psikologi Terapan Universitas Indonesia.

Partai Perindo menilai tragedi Irene memperlihatkan bahwa penyelenggaraan JKN masih jauh dari kata merata dan adil. Peserta JKN seharusnya dilindungi tanpa syarat dalam situasi darurat, namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Partai Perindo mendukung langkah Gubernur Papua yang dengan tegas menyatakan bahwa pelayanan kesehatan tidak boleh menjadi ruang tawar-menawar. Keterbatasan anggaran daerah bukan alasan untuk menunda perbaikan layanan.

Komitmen Gubernur untuk memperbaiki sistem harus disertai dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah pusat agar rumah sakit di Papua benar-benar mampu menangani kasus kegawatdaruratan maternal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *