Home / Ekobis / Sritex Mau Bangkrut, Dulu ‘Dewa’ Baju Militer NATO-Rompi Anti Peluru

Sritex Mau Bangkrut, Dulu ‘Dewa’ Baju Militer NATO-Rompi Anti Peluru

Sritex Mau Bangkrut, Dulu ‘Dewa’ Baju Militer NATO-Rompi Anti Peluru

Jakarta, REDAKSI17.COM – Kualitas kain serta juga pakaian PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) sudah diakui dunia internasional. Perusahaan tekstil terbesar se-Asia Tenggara yang dimaksud berada pada Sukoharjo, Jawa Tengah ini memproduksi berbagai barang global.

Misalnya pada dalam sektor pakaian jadi (garmen), beberapa hasil fashion terkenal seperti Zara, Guess, kemudian Timberland juga pernah dibuat di dalam tempat pabrik Sritex. Mereka juga terus melakukan inovasi model dengan mengembangkan beragam jenis.

Bukan hanya saja sekadar sekadar fashion, Sritex dulu dikenal jagonya produsen seragam militer. Bahkan seragam militer Sritex telah lama lama diakui memenuhi standar North Atlantic Treaty Organization (NATO) sehingga dipercaya memproduksi seragam militer anggota NATO. Beberapa komoditas terkait keperluan militer antara lain seragam tempur, jaket, cover all, rompi, tenda, sepatu juga lain-lain.

Sritex sudah pernah dipercaya untuk memasok seragam militer dari 30 negara pada dunia seperti Amerika, Rusia, Jerman, Inggris, Australia, Swedia, Belanda, Indonesia, Norwegia, Kwait, Saudi Arabia, lalu lain-lain.

Sementara itu untuk TNI, Sritex juga memproduksi seragam dengan kemampuan luar biasa, antara lain anti air, anti api, bahkan anti nyamuk.

Selain seragam, ternyata ada perlengkapan militer lain yang digunakan mana diproduksi Sritex, yaitu ransel serbu yang digunakan dimaksud dapat dugunakan untuk pelampung jika penggunanya terjatuh di area dalam laut, sungai, ataupun danau. Sritex juga menghasilkan tenda untuk TNI yang mana itu pastinya anti air serta juga terjamin kualitasnya.

Bahkan perusahaan yang digunakan didirikan oleh (Alm) HM Lukminto itu turut andil dalam pembuatan kendaraan militer yaitu Hovercraft milik TNI. Dalam pembuatan kendaraan yang hal itu bisa jadi hanya dijalankan dalam darat kemudian laut itu, Sritex kebagian menimbulkan komponen anti api kemudian anti pelurunya.

Sritex memang pernah berjaya di tempat dalam masanya. Namun pada masa sekarang ini perlahan sinar Sritex meredup.

Perusahaan ini mengalami hutang yang digunakan menumpuk, perdagangan saham yang mana dihentikan, hingga terancam delisting.

Perdagangan saham SRIL telah terjadi dikerjakan dihentikan sejak 18 Mei 2021 serta akan pada Maret 2024 sudah terjadi memasuki bulan ke-34. Sementara laporan keuangan terakhir yang mana mana dilaporkan yakni September 2022 menurut situs resmi perusahaan.

Hingga September 2023, total liabilitas SRIL tercatat US$1,55 miliar atau setara dengan Rp24,16 triliun (kurs=Rp15.600/US$). Jumlah yang digunakan didominasi oleh utang-utang yang tersebut digunakan mempunyai bunga seperti utang bank juga obligasi.

Secara rinci utang bank kemudian obligasi yang digunakan dimiliki oleh Sritex adalah sebagai berikut:

Pabrik Sritex (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)Foto: Pabrik Sritex (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)
Pabrik Sritex (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)
  • Utang bank jangka panjang yang dimaksud mana jatuh tempo dalam satu tahun senilai US$13,06 jt atau Rp203,67 miliar,
  • Utang jangka dengan jatuh tempo kurang setahun senilai US$5 jt atau Rp78 miliar,
  • Utang bank lalu obligasi jangka panjang senilai US$1,33 miliar atau Rp20,57 triliun.
  • Total utang bank dan juga juga obligasi adalah US$992 jt atau Rp15,49 triliun.
  • Surat utang jangka menengah US$14,58 jt atau Rp227,5 miliar.
  • Total obligasi senilai US$368,25 miliar atau Rp5,744 triliun.

Jumlah yang mana serupa dengan 86,88% dari total liabilitas yang tersebut dimiliki per September 2023. Di aman utang didominasi dengan masa jatuh tempo jangka panjang. Utang jangka panjang adalah utang mahal sebab harus bayar jangka waktu yang dimaksud yang disebut lebih lanjut besar lama.

Perlu dicatat utang bank juga obligasi mengakibatkan ada bunga yang tersebut dimaksud harus dalam bayar selain pokok pinjaman. Implikasinya adalah beban bunga akan menggerus pendapatan sehingga memproduksi kinerja profitabilitas menjadi buruk.

Utang yang mana dimaksud gendut menciptakan Sritex mengalami “obesitas”. Jumlah utang bank juga obligasi yang dimiliki tambahan banyak tinggi dari aset yang digunakan dimiliki sehingga mengalami defisit modal.

Defisit modal biasa juga disebut sebagai ekuitas negatif. Emiten yang digunakan dimaksud mempunyai ekuitas negatif akan berbahaya bagi pemodal oleh sebab itu sebagai tanda bahwa perusahaan semakin dekat dengan kebangkrutan.

Jumlah aset yang digunakan dimaksud dimiliki adalah US$653 jt atau Rp10,19 triliun. Jika dibandingkan dengan total utang berbunga maka terdapat defisit modal sebesar Rp10,8 triliun.

Jika total aset itu dibandingkan dengan jumlah keseluruhan keseluruhan liabilitas maka terjadi defisit modal sebesar Rp13,97 triliun.

Selain ekuitas negatif terdapat indikator lainnya yang digunakan yang semakin menegaskan kondisi Sritex tidaklah ada sehat, yakni rasio likuiditas serta rasio solvensi.

SRIL miliki current ratio sebesar 175%, padahal maksimal adalah 100%. Current ratio digunakan untuk mengetahui seberapa sanggup sebuah perusahaan dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Padahal utang jangka pendek adalah yang mana hal tersebut paling berisiko dibandingkan dengan utang jangka panjang dalam struktur modal. Sebab harus segera dilunasi, jika tak mampu dibayar maka perusahaan akan dihadapkan dengan pilihan yang dimaksud digunakan sulit yakni melikuidasi aset (jika cukup) atau melakukan refinancing atau pailit.

Dijelaskan dalam buku Dasar-dasar Memahami Rasio juga Laporan Keuangan oleh Darmawan, current ratio adalah perbandingan antara aktiva lancar lalu kewajiban lancar

Kemudian tingkat utang berbunga seperti bank lalu obligasi dibandingkan aset (debt assets ratio) yang digunakan digunakan sebesar 207,9%, dalam atas batas aman 100%.

Bagaimana dengan debt equity ratio (DER) yang mana mana juga umum digunakan untuk mengukur kesehatan perusahaan? Tentu belaka tak sanggup jadi dihitung lalu digunakan sebab membukukan ekuitas negatif.

Perdagangan saham SRIL sudah terjadi dihentikan sejak 18 Mei 2021 juga akan pada Maret 2024 sudah memasuki bulan ke-34. Sementara laporan keuangan terakhir yang dimaksud mana dilaporkan yakni September 2022 menurut situs resmi perusahaan.

BEI menyebut, bursa dapat menghapus pencatatan saham perusahaan tercatat apabila mengalami kondisi, atau peristiwa, yang tersebut digunakan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha, baik secara finansial atau secara hukum.

Juga, terhadap kelangsungan status sebagai perusahaan terbuka, lalu tiada dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang itu memadai.

Miris nasib Sritex sekarang, dahulu disanjung sebab substansi serta kualitas pakaiannya. Bahkan produknya diminati untuk seragam militer dalam dalam berbagai benua. Segmen pasarnya pun mayoritas dalam area luar negeri.

Sayangnya pandemi Covid-19 pada 2020 memproduksi usaha Sritex babak belur. Pada 2021, Sritex mencatatkan kerugian bersih sampai Rp1,08 miliar atau Rp16,76 triliun. Padahal dalam satu puluh tahun sebelumnya mencatatkan pertumbuhan laba rata-rata 18,5% per tahun (CAGR).


Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *