Home / Opini / Sungguhkah Karena Pemilu Suara Rakyat Tidak Diyakini Lagi Sebagai Suara Tuhan ?

Sungguhkah Karena Pemilu Suara Rakyat Tidak Diyakini Lagi Sebagai Suara Tuhan ?

Oleh :

Jacob Ereste

Bagi rakyat kebanyakan, memilih calon Presiden dan Calon Wakil Presiden itu menjadi penting karena menggarap dapat memiliki Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang baik dan benar, jujur dan ikhlas menunaikan amanah rakyat dipimpinnya, serta mau melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Karena itu, Presiden Indonesia harus menjaga kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik dan kedaulatan budaya sehingga tidak didikte atau dijajah oleh bangsa asing.

Karena itu, pemilihan Presiden bersama Wakil Presiden patut dilakukan secara jujur dan adil menerima suara rakyat, baik melalui pemilihan suara dalam pelaksanaan Pemilu maupun secara lisan atau tulisan. Sebab tugas pokok Presiden dan Wakil Presiden adalah menjalankan amanah rakyat.

Oleh sebab itu, rakyat akan selalu kritis dan cermat mengikuti tahapan Pemilu, mulai dari proses pendaftaran yang harus mentaati tata aturan dan perundang-undangan yang berlaku, hingga proses sebelum dan setelah pemilihan suara di TPS harus tetap menjunjung tinggi etika dan hak bagi rakyat untuk menentukan pilihan terbaiknya sesuai dengan keyakinannya pada kandidat Capres dan Wapres yang dapat membawa seluruh rakyat bisa lebih baik, lebih sejahtera dan lebih beradab pada hari esok yang lebih menyenangkan dan lebih menggembirakan.

Maka itu, proses pemaksaan dalam pencalonan Presiden dan Calon Wakil Presiden menjadi perhatian serta pertimbangan bagi rakyat. Begitu juga dengan proses seperti acara debat Capres dan debat Cawapres tidak elok bila dipenggal dengan cara menggabung debat Capres dengan sebab Cawapres yang sudah diatur sedemikian baik seperti Pemilu sebelumnya. Sebab debat Capres dan debat Cawapres itu untuk memberi kesempatan kepada rakyat memiliki bahan untuk menakar etikabilitas dan intelektualitas serta kemampuan dan kecakapan sebagai sosok pemimpin Indonesia untuk masa depan yang harus menghadapi berbagai masalah.

Etika Komisi Pemilihan Umum pun semakin patut diragukan netralitasnya seperti Mahkamah Konstitusi yang juga mengubah tara aturan Pemilu yang sudah ada. Seperti pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang mengatakan bahwa debat Capres akan dilakukan dengan menghadirkan Capres dan Cawapres dalam lima sesi acara debat, jelas menyimpang dari ketentuan yang telah diatur dalam pasal 277 UU No. 7/ 2017, tentang Pemilu Junto Pasal 50 Per-KPU No.15/2023, rapi juga akan menghilangkan kesempatan bagi publik untuk menilai kualitas Cawapres bukan sekedar aksesoris belaka.

Seperti dikatakan Todung Mulya Lubis, Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Machfud MD, mempertanyakan konsistensi Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari dalam menjalankan perintah UU terkait debat calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk Pemilu 2024.

Jika rencana debat Cawapres tetap digabung dengan debat Capres, semakin nyata banyaknya pelanggaran yang dilakukan, mulai dari Putusan MK yang sungsang, hingga debat Cawapres dan kecenderungan dalam melakukan mobilisasi massa yang juga menggunakan fasilitas serta aparat negara.

Begitulah kesangsian rakyat yang tergantung di langit, setelah dibisikkan kepada Tahun, bahwa “suara rakyat dalam Pemilu di Indonesia tidak lagi dipercaya sebagai suara Tuhan”.

Banten, 3 Desember 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *