Home / Daerah / UGM Gelar Sarasehan, Bupati Gunungkidul Dorong Living Lab Berbasis Kearifan Lokal

UGM Gelar Sarasehan, Bupati Gunungkidul Dorong Living Lab Berbasis Kearifan Lokal

Yogyakarta – Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih hadir sebagai narasumber dalam acara sarasehan Gotong Royong Membangun Kesejahteraan Daerah yang digelar Universitas Gadjah Mada (UGM). Sabtu (23/8/25). Acara ini mempertemukan akademisi, aktivis, dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk merumuskan paradigma baru pembangunan berbasis kolaborasi dan kearifan lokal.

Dalam forum ini, Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih menegaskan bahwa pembangunan tidak bisa lagi hanya bergantung pada pemerintah daerah maupun pusat. Menurutnya, perguruan tinggi, dunia usaha melalui CSR, serta masyarakat memiliki peran penting dalam mendorong kemajuan daerah.

“Yang tadinya paradigma pembangunan itu bergantung pada pemerintah, kami berfikir adanya kolaboratif. Modal utama tetap gotong royong dengan masyarakat. Kita gali kembali semangat berdikari yang dulu pernah kuat sebelum adanya bantuan sosial,” ujar Bupati Endah.

Gunungkidul, dengan wilayah terluas di DIY yang mencakup 1.429 dusun, menyimpan potensi besar untuk dijadikan living lab. Konsep living lab sendiri merupakan ekosistem inovasi terbuka yang memadukan riset, kreasi, dan praktik nyata berbasis pengguna.

“Potensi kami luar biasa. Mulai dari kawasan kars Gunung Sewu yang ditetapkan UNESCO sebagai Global Geopark, garis pantai 72 km, pertanian jagung dan padi terbesar di DIY, hingga budaya ritual sedekah bumi dan laut. Semua ini bisa jadi laboratorium hidup untuk pembangunan berkelanjutan,” lanjutnya.

Prof. Dr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum, Dekan Fakultas Filsafat menyebut metode living lab harus berpijak pada kearifan lokal.

“Gotong royong itu bukan hanya praktik sosial, tapi juga epistemologi bersama. Dari sanalah lahir ilmu kehidupan yang diwariskan turun-temurun,” jelasnya.

Sementara itu, Prof. Subejo menyoroti inovasi lokal masyarakat Gunungkidul yang lahir dari keterbatasan sumber daya. Ia mencontohkan praktik sambatan, gugur gunung, hingga tumpang sari yang mampu menciptakan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan sosial.

“Kalau ingin membangun daerah tipikal seperti Gunungkidul jangan hanya mengimpor model dari luar. Sentuh saja kelembagaan lokal yang sudah ada, beri sedikit modernisasi, maka mereka bisa berkembang,” tegasnya.

Aktivis Desanomia, Rifki, menambahkan bahwa living lab bukan sekadar ruang riset, melainkan proses membangun kesepakatan bersama warga.

“Paradigma baru adalah menjadikan pendidikan sebagai living lab. Kampus dan sekolah harus terhubung langsung dengan masyarakat, bukan hanya ruang kelas,” ucapnya.

Diskusi ini menegaskan kembali pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mendorong pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan orkestrator, sementara akademisi menghadirkan pengetahuan, dan masyarakat menghidupkan nilai gotong royong.

“Harapan saya, dari Gunungkidul yang adoh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *