Sleman (31/01/2025) REDAKSI17.COM – Tradisi Labuhan Merapi Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari rangkaian peringatan Tingalan Jumenengan Dalem atau ulang tahun ke-36 bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Kraton Yogyakarta berlangsung khidmat. Upacara Labuhan Merapi yang diikuti ribuan masyarakat melalui jalur pendakian sakral tersebut menjadi ajang pengenalan tradisi adat Yogyakarta kepada masyarakat luas.
Selain nguri-uri tradisi adat, upacara Labuhan Merapi yang rutin digelar setiap tahunnya tersebut sekaligus menampilkan pertunjukan seni dan budaya. Adapun pentas seni budaya yang ditampilkan memeriahkan penutup Tingalan Jumenengan Dalem antara lain tari klasik gaya Yogyakarta Sekar Pudyastuti, pagelaran wayang kulit lakon Lampahan Wahyu Kalimosodo dan lain sebagainya.
Upacara Labuhan Merapi tersebut digelar terbuka dari rumah Petilasan Mbah Maridjan di Kinahrejo Cangkringan, Sleman.yang dipimpin langsung Juru Kunci Merapi Mas Kliwon Suraksohargo Asihono atau yang akrab disapa Mbah Asih.. Rombongan berjalan dari petilasan Mbah Maridjan dan mendaki kurang lebih sekitar 2,5 kilometer menuju Srimanganti tempat dilaksanakannya prosesi upacara labuhan pada Jumat (31/01) mulai pukul 06.00 WIB.
“Labuhan ini merupakan upacara tradisional atau upacara adat agar masyarakat tahu tentang tradisi ini termasuk budaya. Sehingga masyarakat dapat belajar dan paham tentang budaya salah satunya upacara adat, setidaknya mengenali. Kemarin pentas-pentas seni yang diadakan sebagai pendukungnya dan semua ini dipertontonkan untuk masyarakat luas,” ujar Mbah Asih.
Mbah Asih menyampaikan tradisi Labuhan Merapi bertujuan untuk memohon keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka khususnya bagi DIY. Serta dengan harapan dapat menangkal jika dikemudian hari Merapi mengalami sedikit erupsi, masyarakat tetap aman dan damai.
Dalam tradisi ini terdapat beberapa ubarampe yang akan dilabuh d Bangsal Srimanganti, namun ubarampe yang dilabuh tidak ditinggal melainkan diberikan pada masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, juga terdapat beberapa makanan yang dibagikan pada masyarakat berupa nasi kepal beserta lauk usai didoakan, harapannya bisa membawa berkah dan keselamatan.
Adapun ubarampe yang dilabuh sendiri yaitu satu lembar Nyamping Cangkring, satu lembar Kawung Kemplang, satu lembar Semekan Gadhung, satu lembar Semekan Gadhung Mlathi, satu lembar Semekan Banguntulak, satu lembar Kampuh Poleng Ciut, satu lembar Dhesthar Daramuluk. Kemudian satu lembar Paningset Udaraga, satu wadhah Sela Ritus Lisah Konyoh, satu amplop Yatra Tindhih, sepuluh biji Ses Wangen dan Apem Mustaka.
“Semua ubarampe tersebut memiliki makna tersendiri dan beragam. Contohnya Semekan Banguntulak, membawa makna harapan yaitu menolak bala atau malapetaka dan supaya masyarakat dijauhkan dari hal-hal buruk,” imbuh putra Mbah Maridjan tersebut.
Upacara adat tersebut mampu menjadi magnet atau daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam maupun luar DIY termasuk wisatawan mancanegara atau asing. Turut mengikuti prosesi upacara adat tersebut antara lain para relawan seperti tim SAR, Pramuka, petugas kesehatan dan lainnya
Salah satu warga asal Klaten yang ikut serta dalam Labuhan Merapi, Enka mengaku baru pertama kalinya mengikuti upacara Labuhan Merapi ini sehingga merasa sangat antusias. Upacara adat ini sangat seru dan menambah wawasan terhadap budaya dan tradisi. Dirinya memiliki keinginan untuk mengikuti tradisi adat ini namun belum kunjung terealisasikan.
“Karena penasaran jadi ingin mengikuti tradisi labuhan ini. Apalagi Yogyakarta
itu kota yang masih nguri-uri kebudayan. Melalui tradisi ini jadi tahu Yogyakarta berada di tengah dengan ujungnya Merapi kemudian di selatan ada Pantai Parangkusumo yang kemarin juga melaksanakan tradisi labuhan,” ujarnya.
Senada, warga asal Yogyakarta bernama Ipeh Nur yang baru pertama kalinya mengikuti upacara Labuhan Merapi. Dengan keikutsertaannya tersebut, dirinya dapat mengetahui dan menyaksikan sendiri tradisi adat khas Yogyakarta. Meskipun berjalan dan mendaki Gunung Merapi yang terjal dan melelahkan tetapi hal ini merupakan pengalaman yang sangat menarik dan seru.
“Karena pertama kali jadi antusias banget walaupun emang engga prepare sama sekali dan tidak tahu akan mendaki terjal sampai atas. Tetapi ini menjadi pengalaman yang seru banget, olahraga sekalian mengetahui tradisi yang ada dan begitu sampe atas tadi menyaksikan prosesi dan keriwehannya” tutur Ipeh.
Setelah prosesi upacara selesai, rombongan segera turun menuju petilasan Mbah Maridjan kembali. Pihak penyelenggara telah menyiapkan sekitar 600 mangkok soto yang bisa disantap bersama teh, kopi, dan dawet durian secara gratis. Tak membutuhkan waktu lama, hidangan favorit tersebut langsung diserbu para peserta yang ikut berpartisipasi dalam upacara adat tersebut.
HUMAS PEMDA DIY