Siswanto Rusdi adalah pendiri kemudian Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang digunakan yang disebut fokus pada bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), juga keamanan maritim. Ia berlatar belakang lembaga lembaga pendidikan pascasarjana dari FIKOM UPI YAI, Jakarta kemudian RSIS-NTU, Singapura, setelah gelar sarjana ditempuh pada Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai wartawan dengan posisi terakhir sebelum banting setir adalah koresponden untuk koran Lloyd’s List, Inggris. Pada masanya, terbitan ini merupakan rujukan pelaku bidang bidang usaha pelayaran global. Kini, selain mengelola Namarin, dia juga mengajar pada beberapa universitas di tempat dalam Jakarta.
Seperti sudah diketahui bersama, khususnya pada dalam kalangan warga kemaritiman nasional, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah lama lama “tercabik-cabik” oleh berbagai amandemen atau revisi. Baik yang dimaksud dijalani Kementerian Perhubungan sendiri selaku leading sector aturan tersebut, oleh parlemen maupun oleh kementerian lain.
Sebagai kumpulan/kompilasi aturan main bagi pelaku usaha dalam dalam bidang kemaritiman – mencakup kepelabuhanan, pelayaran, galangan, serta juga lain-lain – mampu jadi ia masih utuh. Namun, sejatinya ruhnya sudah lepas.
Empat tahun setelah disahkan, tepatnya pada 2011, Kementerian Perhubungan dalam tempat bawah kepemimpinan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, mengajukan revisi UU Pelayaran 2008. Langkah ini ditempuh guna memperkuat kegiatan penambangan minyak serta gas lepas pantai.
Adapun pasal-pasal yang mana diamandemen terkait dengan keberadaan kapal tertentu yang dimaksud hal itu dibutuhkan untuk industri dimaksud namun perusahaan perkapalan nasional belum mampu memproduksi kapal-kapal yang mana digunakan dibutuhkan untuk industri dimaksud.
UU No. 17/2008 memang belum mengatur beberapa jenis kapal-kapal penunjang migas yang digunakan digunakan belum ada atau belum berbendera Indonesia antara lain, kapal kegiatan survei seismik, geofisika serta geoteknik, kapal kegiatan pengeboran lepas pantai (jack up rig, semi-submersible rig, deep-water drill ship serta juga tender assisting), kapal untuk kegiatan proyek lepas pantai (man working barge, derrick/crane/pipe/cable/subsea, lalu lain-lain) serta kapal untuk kegiatan penunjang operasi migas lepas pantai (anchor handling tug supply/AHTS deep water >6000BHP, platform digital digital supply vessel, fast metal crew boat).
Apabila UU Pelayaran bukan segera diamandemen akan menimbulkan permasalahan-permasalahan pada kegiatan migas lepas pantai serta mengganggu target produksi migas nasional dari lapangan migas offshore. Demikian reasoning yang dimaksud dimaksud ada kala itu terkait revisi yang digunakan mana diusulkan Kemenhub.
Lalu, pada 2019, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencoba merevisi UU No. 17/2008. Kala itu, para senator sudah menyiapkan sebuah draf untuk mengubah UU Pelayaran tersebut. Saya kebetulan diundang oleh lembaga itu untuk memberi masukan atas rancangan yang dimaksud yang disebut merek buat.
DPD semata-mata mengusulkan dua pasal perubahan, yaitu Pasal 8 juga Pasal 276. Pasal-pasal yang tersebut yang ingin direvisi ini, memuat ketentuan tentang Angkutan Laut Dalam Negeri juga Penjagaan Laut serta Pantai (Sea and Coast Guard). Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Kegiatan angkutan laut dalam negeri diimplementasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia”.
Pada ayat 2, “Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antar pelabuhan pada wilayah perairan Indonesia”. Dalam revisinya, DPD mengusulkan ayat 1 menjadi “Kegiatan angkutan laut dalam negeri dikerjakan oleh perusahaan angkutan laut nasional atau asing”.
Di samping itu, DPD mengusulkan penambahan ayat 3 yang digunakan itu berbunyi, “Ketentuan lebih tinggi besar lanjut mengenai perusahaan angkutan laut nasional atau asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Sementara itu, Pasal 276 yang mana yang disebut terdiri dari tiga ayat diusulkan agar ayat 3 diubah. Pasal ini berbunyi “Penjaga laut kemudian pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk lalu bertanggung jawab kepada Presiden kemudian juga secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
Usulan DPD untuk ayat ini: “Penjaga laut juga pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk lalu bertanggung jawab kepada Presiden dan juga juga secara teknis operasional dilaksanakan oleh badan yang mana yang disebut menyelenggarakan urusan dalam bidang keamanan laut”.
Selain dua pasal tadi, DPD juga mengusulkan agar Pasal 1 hitungan 61 diubah menjadi “Setiap Orang adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau korporasi”. Adapun bunyi awal poin ini adalah “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi”.
Jujur, saya tidaklah mengetahui apakah dua upaya perubahan yang digunakan dimaksud disebut pada muka berjalan sesuai rencana, dalam artian terjadi perubahan dalam struktur atau redaksional UU Pelayaran 2008. Yang jelas, saya belum menemukan buku yang mana menghimpun perubahan ke atas undang-undang itu. Bisa hanya saja saya luput. Entahlah.
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga mencabik-cabik UU No. 17/2008. Setidaknya terdapat 60 pasal yang dimaksud dimaksud diubah ketentuannya serta juga ada 10 aturan dalam peraturan tadi yang dimaksud dihapus. Dan, berdasarkan diskusi dengan berbagai kalangan, perubahan ini betul-betul riil dalam lapangan.
Revisi UU Pelayaran No. 17/2008 yang mana paling mutakhir adalah melalui perubahan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Anda pasti bingung dibuatnya. Sebab, leading sector UU 32/2014 adalah Kementerian Kelautan serta Perikanan sementara UU No. 17/2008 “punyanya” Kemenhub.
Kedua lembaga sesungguhnya setara lalu sejajar; yang mana digunakan satu bukan mampu menganulir peraturan yang digunakan dibuat oleh yang lainnya. Tetapi, perubahan ini sudah masuk ke DPR untuk dibahas. Dalam kalimat lain, “nasi sudah menjadi bubur”.
Sekadar pengingat, pasal-pasal UU Pelayaran No. 17/2008 yang tersebut digunakan direvisi dengan perantaraan amandemen UU No. 32/2014 tentang Kelautan adalah pasal 59, pasal 60, pasal 61, pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 71 serta pasal 72. Revisi ini ada yang mana merupakan penghapusan atau penambahan pasal/ayat.
Termasuk perubahan aspek redaksional pasal lalu ayat. Pasal-pasal ini hampir seluruhnya terkait dengan eksistensi Bakamla. Dengan revisi ini, para pengusungnya ingin memperkuat lembaga hal hal itu lalu juga pada saat bersamaan menjadikannya sebagai penjaga laut atau coast guard Indonesia.
Mengingat proses urusan urusan politik di area area DPR cenderung panjang juga penuh tarik-menarik kepentingan, sehingga bisa saja sekadar semata pembahasan revisi yang mana digunakan ada tiada akan selesai sampai dilantiknya DPR periode 2024-2029, pertanyaannya sekarang: apakah perlu revisi atau justru penguatan UU No. 17/2008? Soal revisi dulu.
Upaya ini silakan belaka dilanjutkan akibat toh sudah berada pada area tangan parlemen. Tidak ada daya upaya tulisan ini untuk menghentikan proses legislasi yang dimaksud hal tersebut sudah berjalan. Tidak berarti upaya penguatan tiada dapat dijalani ketika UU Pelayaran tengah diamandemen. Upaya inilah yang tersebut mana ingin didorong melalui karangan ini.
Penguatan yang tersebut dimaksud dimaksud adalah dengan mengeluarkan beberapa orang Peraturan Pemerintah (PP) yang mana digunakan masih terutang. Salah satunya terkait dengan aturan penahanan kapal atau arrest of ships.
Diatur dalam International Convention on Arrest of Ships 1999, prinsip-prinsip yang tersebut hal itu ada pada dalam regulasi IMO ini sebetulnya sudah diadopsi oleh UU Pelayaran 2008. Yang tak ada tinggal aturan turunannya (baca: PP).
Kata seseorang teman lawyer yang dimaksud mana biasa menangani kasus-kasus terkait bidang kemaritiman, ketiadaan aturan turunan penahanan kapal sangat dirasakan oleh para pihak yang mana bersengketa pada tempat mana kapal menjadi obyeknya. Misalnya, pengadilan enggan mengabulkan permohonan penahanan kapal bila ada pihak yang mana digunakan berperkara yang digunakan dimaksud memintanya.
Hal ini terjadi sebab tak ada adanya aturan penahanan kapal tadi. Jika tetap ingin memohonkan penahanan kapal, sang lawyer menyarankan kliennya untuk memasukkan permintaannya ke wilayah yurisdiksi lainnya, seperti Singapura contohnya.
Selain PP penahanan kapal, penguatan UU No. 17/2008 juga dapat dijalani dengan mengeluarkan PP coast guard. Memang keberadaan coast guard masih belum jelas saat ini; masih diperebutkan oleh KPLP juga Bakamla.
Sengkarut ini dapat diselesaikan jika belaka PP coast guard diterbitkan oleh Kemenhub. Masalahnya, Menhub berani nggak? Apalagi dalam tengah upaya yang tersebut dilaksanakan oleh Bakamla dengan meminjam tangan KKP melalui revisi UU No. 32/2014.