Home / Ekobis / Wall Street Ambruk Akibat Perang Israel-Iran, Bagaimana Prospek IHSG?

Wall Street Ambruk Akibat Perang Israel-Iran, Bagaimana Prospek IHSG?

Wall Street Ambruk Akibat Perang Israel-Iran, Bagaimana Prospek IHSG?

Jakarta,REDAKSI17.COM – Sejalan dengan meningkatnya kecemasan akan inflasi dan juga juga situasi geopolitik, pasar saham Wall Street kembali merugi pada perdagangan Jumat. Penurunan saham bank besar juga memberikan tekanan tambahan pada pasar.

Indeks Dow Jones Industrial Average turun 475,84 poin, atau 1,24%, ditutup pada 37.983,24. S&P 500 tergelincir 1,46% menjadi 5.123,41. Sementara itu, Nasdaq Composite turun 1,62% menjadi 16.175,09.

Dalam sepekan, S&P 500 ambles 1,56%, sementara Dow Jones turun 2,37%. Di sisi lain, Nasdaq yang digunakan yang disebut didominasi teknologi turun 0,45% pada pekan ini.

Saham JPMorgan Chase turun lebih lanjut lanjut dari 6% setelah raksasa perbankan ini merilis hasil kuartal pertamanya. Bank yang mana disebut menyatakan pendapatan bunga bersih, ukuran utama dari tingkat keuntungan, sedikit pada bawah perkiraan analis Wall Street untuk 2024. CEO Jamie Dimon juga memperingatkan tentang tekanan inflasi yang tersebut dimaksud persisten terhadap ekonomi. Wells Fargo turun 0,4% setelah melaporkan nomor kuartal terbarunya.

Sentimen ini dapat menjadi sinyal positif kemudian negatif untuk pasar modal domestik. Perlambatan sektor perbankan AS yang dimaksud dimaksud merupakan penopang perekonomiannya mengindikasikan adanya perlambatan sektor ekonomi raksasa kegiatan kegiatan ekonomi global. Hal ini dapat menjadi sinyal positif untuk pasar keuangan, khususnya akan prospek pemangkasan suku bunga ke depan semakin besar.

Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan dari kondisi riil kuartal pertama perekonomian AS menunjukkan adanya perlambatan. Penurunan kinerja perbankan juga dapat menjadi keresahan pemodal bahwa permasalahan ini dapat merambat ke berbagai sektor ekonomi, sehingga dapat memberi efek domino yang mana mengancam perekonomian.

Sentimen selanjutnya terkait biaya minyak yang digunakan mana terus naik disebabkan Israel bersiap untuk serangan langsung oleh Iran akhir pekan ini, dalam apa yang dimaksud mana akan menjadi eskalasi ketegangan terbesar dalam wilayah yang digunakan sejak pecahnya perang Israel-Hamas pada Oktober lalu. Minyak mentah AS menetap pada US$85,66 per barel setelah sempat naik di area tempat atas US$87.

Hal tersebut, ditambah dengan data impor AS yang digunakan hal itu baru, menambah komponen bakar pada kegelisahan inflasi yang tersebut hal tersebut sudah memberikan tekanan pada pasar.

“Kita melihat sentimen risiko semakin melemah menjauhi akhir pekan. Terlihat ada perdagangan menuju keamanan, dengan penguatan dolar, lalu kita melihat saham-saham turun,” kata Rob Haworth, senior investment strategist U.S. Bank Wealth Management.

“Hal ini datang setelah data inflasi yang tersebut dimaksud memberi tahu kita bahwa dunia bisnis masih cukup panas kemudian juga inflasi masih tertahan; itulah yang dimaksud hal itu menggalakkan [investor] untuk benar-benar menyesuaikan harapan merekan terhadap Fed. … Itulah sebagian alasan mengapa merek menjadi waspada mendekati akhir pekan,” tambah Haworth.

Kenaikan nilai tukar minyak dapat menjadi indikator positif untuk IHSG, mengingat sektor energi merupakan salah satu penopang pergerakan pasar. Kenaikan biaya saham minyak sudah banyak terjadi, baik pada pasar AS maupun domestik.

Meski demikian, kenaikan tarif minyak dapat menjadi kabar buruk untuk industri yang dimaksud banyak menggunakan minyak. Mahalnya nilai tukar minyak dapat menyebabkan industri harus membayar lebih, sehingga beban akan meningkat. Selain itu, kenaikan biaya minyak dapat menjadikan tingkat inflasi yang mana itu belum terkendali, sehingga pemangkasan suku bunga masih akan ditunda.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *