Solo, REDAKSI17.COM – Ratusan warga Solo mendatangi Loji Gandrung, Senin (16/10). Mereka bertapa bisu di dalam dalam depan rumah dinas Wali Kota Solo tersebut.
Tapa bisu adalah bentuk membantah rakyat kepada raja-raja Jawa. Dahulu, tapa bisu dijalani dengan menjemur diri pada tempat alun-alun yang tersebut itu berada pada depan Keraton Surakarta Hadiningrat.
Pantauan CNNIndonesia.com, peserta aksi berjalan dari Stadion Sriwedari menuju Loji Gandrung melalui city walk. Mereka membawa spanduk kemudian poster bernada penolakan praktik kebijakan pemerintah dinasti.
“Kami muak dengan urusan urusan politik dinasti,” demikian tulisan salah satu spanduk. Tulisan itu dicetak dalam area atas kain merah putih.
“Ojo dumeh (jangan mentang-mentang),” tulis poster yang dimaksud lain.
Di depan Loji Gandrung, dia kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya. Salah satu peserta kemudian membakar kemenyan menandakan prosesi tapa akan dimulai.
“Saudara-saudara, kita mulai tapa bisu lima menit,” kata koordinator aksi, Joko Pleci.
Mereka kemudian berdiam diri selama beberapa saat. Usai tapa bisu, merek langsung membubarkan diri ke Stadion Sriwedari.
Usai aksi, Joko bukan menerangkan dengan jelas apa maksud aksi tersebut. Ia yakin para pemimpin sudah memahami pesan yang dimaksud mana disampaikan.
“Sesuai moto tadi, tetep kita tiada ada tendensi apa-apa. Cuma ya kita orang Jawa tapa mbisu biar pemimpin-pemimpin kita yang tersebut mana tahu yang tersebut menjawab,” katanya.
Ia tak membantah saat ditanya apakah aksi itu dialamatkan kepada Gibran. Mengingat aksi itu digelar dalam depan rumah dinasnya.
“Kalau enggak ke Balai Kota atau ke Loji Gandrung, mau kemana lagi?” katanya.
Ia pun tak membantah aksi yang tersebut disebut berkaitan dengan perkembangan yang mana digunakan terjadi di dalam dalam Indonesia. “Mungkin ada kaitannya,” katanya.
Ia menerangkan tapa bisu adalah upaya yang dimaksud mana dikerjakan warga Jawa untuk mengingatkan pemimpinnya.
“Orang Jawa dari moyang kita dulu yang dimaksud namanya tapa bisu ya yen kowe dielingke wegah, aku tak meneng wae (Kalau kamu tidaklah mau diingatkan, tambahan tinggi baik saya diam saja),” ucapnya.
Meski demikian, ia membantah saat ditanya aksi hal yang disebut berkaitan dengan pembacaan putusan MK atas gugatan pasal 169 q Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang dimaksud digunakan mengatur batas usia minimal 40 tahun calon presiden juga juga wakilnya.
“Ndak ada. Masalah MK itu kami rakyat Solo saya kira tak ada komentar apa-apa. Jadi monggo itu keputusan MK. Kita tiada tahu,” katanya.
Gibran sendiri sempat mendatangi peserta aksi yang digunakan masih berkumpul dalam Sriwedari. Ia menanyakan aspirasi yang mana ingin disampaikan lewat aksi tersebut. Gibran bahkan sempat mengajak koordinator aksi untuk berbincang di tempat dalam Loji Gandrung.
“Tak takoni keluhane apa (Saya tanya, keluhannya apa), katanya enggak tahu. Saya ajak ke rumah enggak mau,” kata Gibran.
red