Jakarta,REDAKSI17.COM – Pasar keuangan Tanah Air kembali ditutup merana pada perdagangan Kamis (30/5/2024) kemarin, terbebani oleh naiknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) serta kencangnya arus modal asing yang mana keluar.
Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih tertekan pada hari ini akibat penanam modal menunggu data-data dari Amerika Serikat (AS). Selengkapnya mengenai sent8imen hari ini sanggup dibaca pada halaman 3.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan kemarin kembali ditutup ambruk 1,49% ke posisi 7.034,14. Bahkan, IHSG sempat menyentuh level psikologis 6.900, di dalam tempat mana terakhir kali IHSG menyentuh level psikologis ini pada November 2023.
Nilai transaksi IHSG pada kemarin mencapai sekitar Rp 14 triliun dengan melibatkan 19miliar saham yang digunakan dimaksud berpindah tangan sebanyak 1,2 jt kali. Sebanyak185saham bertambah,349 saham terkoreksi, lalu 242 saham cenderung stagnan.
Aksi jual (net sell) penanam modal asing pada perdagangan kemarin masih cukup tinggi yakni mencapai Rp Rp 1,11 triliun dalam pasar reguler.
Secara sektoral, sektor komponen baku menjadi penekan terbesar IHSG pada akhir perdagangan kemarin, yakni mencapai 2,1%.
Sedangkan dalam bursa Asia-Pasifik kemarin, secara mayoritas kembali melemah. Hanya Straits Times Singapura serta SET Thailand yang dimaksud hal itu berhasil menguat kemarin.
Berikut pergerakan IHSG juga bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin kembali ditutup terdepresiasi di dalam tempat hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di tempat dalam posisi Rp 16.255/US$ dalam pasar spot, melemah 0,62%. Rupiah diketahui sudah terkoreksi selama empat hari beruntun.
Sementara pada Asia, mata uangnya terpantau beragam kemarin. Selain rupiah, ada dolar Hong Kong, won Korea Selatan, peso Filipina, kemudian dolar Taiwan yang digunakan mana juga melemah pada tempat hadapan The Greenback kemarin. Namun sayangnya, rupiah kembali menjadi yang tersebut terburuk di tempat area Asia.
Berikut pergerakan rupiah juga mata uang Asia pada perdagangan Kamis kemarin.
Adapun di dalam tempat pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin masih melanjutkan pelemahan, terlihat dari yield yang digunakan terus mencatatkan kenaikan.
Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang dimaksud merupakan SBN acuan negara terpantau kembali naik 1,5 basis poin (bp) menjadi 6,947%. Yield SBN 10 tahun semakin mendekati level 7%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan tarif obligasi yang dimaksud sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya penanam modal sedang melepas SBN.
Melonjaknya yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan, bahkan pasar saham global.
Kenaikan yield Treasury ini terjadi lantaran penanam modal mempertimbangkan keadaan perekonomian Negeri Paman Sam serta mencerna lelang obligasi lima tahun yang tersebut mana buruk.
Sementara itu, kuatnya dolar AS menghasilkan mata uang dalam dalam Asia cenderung kembali bertumbangan, meskipun pada akhirnya cenderung bervariasi.
Indeks dolar AS (DXY) mengalami penguatan sebesar 0,52% ke bilangan bulat 105,16 atau lebih tinggi lanjut tinggi dibandingkan penutupan perdagangan kemarin yang tersebut stagnan 0%.
Kuatnya sektor perekonomian AS menjadi pendorong penguatan DXY hingga akhirnya menekan mata uang lainnya. Hal ini terjadi setelah indeks kepercayaan konsumen Negeri Paman Sam kembali membaik.
Indeks kepercayaan konsumen (IKK) AS naik pada Mei menjadi 102, dari 97,5 pada bulan sebelumnya.
Keyakinan konsumen yang dimaksud meningkat menunjukkan daya beli rakyat AS masih kuat dalam dalam tengah kecemasan inflasi lalu era suku bunga tinggi. Hal ini dapat memicu kebijakan hawkish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berlanjut.
Adapun inflasi AS saat ini berada di dalam tempat nomor 3,4% (year-on-year/yoy). Angka ini memang lebih tinggi banyak rendah dibandingkan kenaikan pada Maret 2024 yang mana digunakan berada dalam hitungan 3,5% yoy.
Namun demikian, inflasi AS ini masih sangat sangat jauh di tempat tempat atas target The Fed yakni pada hitungan 2%. Oleh lantaran itu, kebijakan higher for longer masih akan menjadi keputusan The Fed setidaknya dalam jangka waktu dekat.





