UMBULHARJO,REDAKSI17.COM – Penyakit tuberkulosis (TBC) masih menjadi perhatian serius, baik di tingkat global maupun nasional. WHO menempatkan TBC bersama AIDS dan malaria sebagai tiga penyakit menular yang terus menjadi sorotan dunia. Indonesia bahkan berada di peringkat kedua dunia untuk jumlah kasus TBC terbanyak.
Hal ini disampaikan oleh, Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, dr. Endang Sri Rahayu. Ia juga menyatakan, tingginya kasus TBC di Indonesia sangat mengkhawatirkan, mengingat penyakit ini dapat menyerang siapa saja dan menular melalui udara.

“Indonesia nomor dua dunia. Ini sangat mengkhawatirkan karena TBC bisa menular lewat udara dan siapa pun bisa tertular,” jelas dr. Endang saat diwawancarai, Rabu (26/11).
Di Kota Yogyakarta, angka kesembuhan TBC masih belum memenuhi target nasional sebesar 90 persen. Tahun lalu tingkat kesembuhan hanya sekitar 86 persen dan tahun ini diperkirakan baru mencapai hampir 80 persen.

“Belum pernah mencapai 90 persen. Padahal yang sudah diobati saja belum semuanya sembuh total, sehingga masih berpotensi menularkan,” katanya
Endang menjelaskan sejumlah faktor yang meningkatkan risiko TBC, terutama pada anak-anak, seperti gizi buruk, stunting, dan berat badan rendah. Pada orang dewasa, kebiasaan merokok, penyakit diabetes (DM), HIV, serta gaya hidup tidak sehat turut memperbesar risiko infeksi.

Selain itu, kondisi hunian yang lembab, minim ventilasi, dan kurang cahaya matahari juga menjadi tempat ideal bagi bakteri Mycobacterium tuberculosis berkembang. “Rumah tidak layak huni sangat berisiko. Kuman TBC menyukai tempat lembab dan gelap,” terangnya.

Adapun pencegahan melalui vaksin BCG yang diberikan pada bayi sebelum usia 1 bulan, merupakan vaksin untuk mencegah TBC berat. Meski cakupannya di Kota Yogyakarta sudah baik, efektivitasnya hanya 60–70 persen, lebih rendah dibanding vaksin lain seperti DPT yang bisa mencapai 98–99 persen. “BCG bukan mencegah penularan, tapi mencegah TBC berat. Banyak masyarakat salah persepsi,” ujarnya.

Tambahnya, salah satu penyebab meningkatnya TBC resisten obat (TB RO) adalah kebiasaan pasien berhenti minum obat sebelum pengobatan selesai. Pengobatan TBC membutuhkan waktu minimal enam bulan dan harus dilakukan setiap hari tanpa putus. “Banyak yang merasa sehat lalu berhenti minum obat. Ada yang bosan, ada yang terkendala jarak ke fasilitas kesehatan. Ini yang memicu resistensi obat,” jelasnya.

Dengan penggunaan tes cepat molekuler (TCM), petugas kesehatan kini bisa mengetahui sejak awal apakah seseorang mengidap TBC sensitif obat atau resisten obat.
Sementara itu, Epidemiolog Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Setyo Gati Candra Dewi, mengungkapkan, sepanjang tahun 2025 hingga 17 November, terdapat 1.161 kasus TBC yang ternotifikasi di seluruh fasilitas kesehatan di Kota Yogyakarta, termasuk 18 puskesmas, 18 rumah sakit, serta klinik dan praktik dokter. Namun, tidak semuanya merupakan warga kota.

“Dari total 1.161 kasus, hanya sekitar 590 yang beralamat di Kota Yogyakarta. Setiap tahun biasanya hanya 50–60 persen yang benar-benar warga kota,” jelasnya.
Ia menyebut, jumlah tersebut tampak lebih tinggi dari estimasi kasus yang diprediksi pusat, yakni sekitar 1.034 kasus pada 2025.
Untuk mencegah penularan, Dinas Kesehatan melakukan investigasi kontak pada setiap pasien TBC yang ditemukan. Kontak erat akan diperiksa gejala TBC, sedangkan kontak sehat akan diberikan Terapi Pencegahan TBC (TPT). Tracing juga dilakukan di sekolah-sekolah dan tempat kerja, termasuk di Balai Kota.

“Kita harus tetap waspada karena TBC bisa menular di mana saja kantor, sekolah, pasar, transportasi umum. Masker sangat penting,” ujar Gati.
Selanjutnya, Programer TBC Puskesmas Umbulharjo II, Rini menyebutkan, hingga saat ini di tahun 2025 terdapat empat pasien yang terindikasi TBC di wilayahnya. “Sampai saat ini ada empat pasien yang sedang menjalani pengobatan TBC di Puskesmas Umbulharjo II. Kami terus memberikan edukasi mengenai pentingnya GERMAS, konsumsi gizi seimbang, dan disiplin pengobatan terus diberikan kepada pasien,” ungkapnya.