Umbulharjo,REDAKSI17.COM – Pengelolaan sampah organik di Kota Yogyakarta akan sepenuhnya diselesaikan di tingkat kelurahan mulai 2026. Kebijakan tersebut menjadi fokus utama rapat koordinasi pengelolaan sampah yang digelar Senin (15/12/2025) di Ruang Bima Balai Kota.

Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo menegaskan bahwa unit pengelolaan sampah (UPS) tidak lagi menerima sampah organik, sehingga seluruh wilayah harus menyiapkan sistem pengelolaan mandiri. Pengelolaan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan berbagai potensi di tingkat kelurahan, termasuk meeting point para penggerobak sampah.

“Tahun 2026 UPS sudah tidak menerima sampah organik. Maka sampah organik harus selesai di kelurahan. Kita manfaatkan meeting point penggerobak, dan setiap penggerobak kita dorong memiliki satu biopori untuk mengelola sampah organik,” ujar Hasto.

Ia menekankan pentingnya memastikan tidak ada lagi sampah organik, baik basah maupun kering, yang masuk ke depo maupun UPS. Untuk sampah organik kering yang masih dapat dimanfaatkan, pemilahan tetap dilakukan dan dikumpulkan di satu titik, seperti Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) atau kantor kelurahan, sebelum dijemput oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

“Sampah organik kering masih bisa dipilah dan dikumpulkan di satu titik. Nanti DLH yang akan menjemput. Yang penting tidak ada lagi sampah organik yang masuk ke depo. Saya yakin kalau sampah itu terpilah volume yang sampai ke hilir akan berkurang signifikan,” tegasnya.

Hasto juga mendorong para pemimpin wilayah agar bersikap persuasif dan aktif mencari terobosan dalam pengelolaan sampah. Salah satu langkah yang terus dioptimalkan adalah penggunaan biopori jumbo secara komunal, baik melalui dukungan anggaran APBD maupun skema Corporate Social Responsibility (CSR).

Menurutnya, tantangan terbesar pengelolaan sampah terletak pada perubahan perilaku masyarakat. Karena itu, rekonstruksi sosial menjadi kunci utama dalam membangun kesadaran kolektif warga.

“Sampah ini belum selesai dan tugasnya tidak ringan karena yang kita ubah adalah perilaku masyarakat. Mengubah perilaku itu tidak mudah, yang kita lakukan adalah rekonstruksi sosial, dan itu membutuhkan ketekunan, kesabaran, serta harus dilakukan terus-menerus,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Rajwan Taufiq menyampaikan bahwa saat ini pihaknya mulai memperketat kebijakan tidak menerima sampah organik di depo maupun unit pengelolaan sampah. Meski masih ada toleransi selama sekitar dua minggu untuk masa penyesuaian, ke depan kebijakan tersebut akan diterapkan secara tegas.

“Baik depo maupun unit pengelolaan sampah tidak menerima sampah organik. Kalau sekarang masih ada, itu hanya toleransi sekitar dua minggu untuk pengetatan,” jelas Rajwan.

Ia menjelaskan bahwa DLH telah menyiapkan sejumlah langkah konkret, antara lain pendistribusian ember pengelolaan sampah organik yang saat ini telah mencapai sekitar seribu unit. Selain itu, pembangunan biopori jumbo terus digenjot dengan target satu biopori untuk setiap dua RT.

“Saat ini sudah ada sekitar 800 biopori jumbo. Sampah organik dimasukkan ke biopori tersebut, selain pengelolaan berbasis rumah tangga melalui ember,” ungkapnya.

Rajwan juga menyampaikan bahwa uji coba penghentian penerimaan sampah organik akan dilakukan di Unit Pengelolaan Sampah Kranon mulai 13 Desember 2025. Selain itu, penutupan depo RRI telah dialihkan ke dua lokasi, yakni di Terban dan Hayamwuruk.

“Mulai 1 Januari, karena kita sudah tidak bisa membuang sampah ke TPA, maka pengelolaan sampah harus benar-benar diselesaikan di wilayah masing-masing,” pungkasnya.

Rapat koordinasi ini menjadi bagian dari upaya berkelanjutan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk memperkuat pengelolaan sampah berbasis wilayah sekaligus mendorong perubahan perilaku masyarakat melalui rekonstruksi sosial yang konsisten dan berkesinambungan.